Tubuhku seperti di kunci, tidak bisa mengubah posisi badan ke kanan atau ke kiri, seperti di ikat di pohon dengan erat, sesuatu bergerak di atas kepalaku seperti mengelus, dengan berat hati aku membuka mataku perlahan hingga mataku mendapati lukisan burung dengan tinta hujau.
Bukankah kamarku bergambar spongebob? Kenapa berubah menjadi burung dan bergerak naik-turun?
Menggeleng pelan aku mendongak melihat Leo yang ternyata mengelus rambutku, oh aku lupa bahwa semalam aku tertidur bersama Leo, mata Leo menatap kosong ke atas dengan bekas tangisan berada di pipinya.
Tangan kiriku yang berada di pinggang Leo perlahan bergerak menuju sudut matanya, aku menghapus air yang akan turun membasahi wajahnya lagi hingga Leo tersadar dan menatapku.
"Hei," sapanya, menghela napas pelan kemudian mengambil tanganku dan menciumnya.
Aku diam selama beberapa detik, mataku masih menebak apa yang terjadi padanya. "Kau baik?" tanyaku tanpa membalas sapaan Leo.
"Apa aku terlihat buruk?" tanyanya membuatku mengangguk mantap, "apa kau memikirkan sesuatu sehingga membuatmu sedikit berbeda di pagi hari ini?"
"Apa aku teramat sangat berbeda?" terdengar dari nadanya Leo tak percaya dengan apa yang aku katakan, "aku... aku hanya kelelahan, mungkin?"
"Bahkan di saat seperti ini kau mencoba menutupi sesuatu yang kau pikirkan? Pernyataanmu terdengar seperti pertanyaan."
Leo menggeleng, tangannya yang menggenggam tanganku kini terlepas di usapnya pipi kiriku, aku menepisnya dan mengubah posisiku. "Aww," ringis Leo, "sikumu terlalu keras menekan sisi kiri perutku."
Tak menghiraukannya, aku pergi ke dapur berniat membuat susu cokelat hangat. Aku bisa melihat Leo karna posisi dapur dekat ruang tamu, Leo duduk di sofa sambil memegang perutnya, tangan kanannya memainkan ponselnya, matanya tak kunjung lepas dari ponsel bak anak yang baru pernah memainkan ponsel.
"Aw!"
Aku mengipaskan tangan kiriku yang terkena air panas, sial karna memperhatikan Leo tanganku menjadi korban.
"Sayang, kenapa?" Leo menarik kasar tangan kiriku yang memerah kemudian ia meniupnya, "kita ke dokter," ucapnya masih memandangi tanganku.
Aku menarik tanganku dan mengambil susu cokelat yang telah jadi tanpa mempedulikan Leo. Aku bisa mendengar Leo berdecak karna aku mengabaikannya, pria itu terlalu berlebihan luka kecil seperti ini tidak perlu dibawa ke dokter.
"Sayangku cintaku manisku segala-galaku, apa salahku hingga kau mengacangiku?"
Aku melirik ke sebelah kiri melihat Leo duduk di sebelahku dengan tangannya menggengam tangan kiriku, ku harap pria ini tidak lupa tiga jari kiriku terkena air panas.
"Sayang," rengek Leo sambil memajukan bibir bawahnya, "kau tidak lagi sariawan, kan? Sehingga bibirmu kau kunci rapat seperti terkena lem."
Diam. Aku diam tak membalas ucapannya, malas. Kalau kata anak jaman sekarang kezel kezel kezel.
"Coba sini aku lihat dimana sariawannya," tangan Leo menyentuh bibirku dan untuk kesekian kalinya aku tepis, "Jesus. Salah Leo apa, kenapa pujaan hati Leo galak. Memang benar kata orang-orang perempuan sedang badmood atau datang bulan galaknya melebihi singa beranak."
"LEO! BERHENTILAH SEPERTI INI!"
Sedikit berteriak karna aku sebal dengannya, Leo tersenyum ke arahku lihatlah betapa gilanya pria ini. "Okay aku tahu jika kau sedang diam aku berkata seperti tadi pasti kau akan berbicara."
"Ha-Ha-Ha," balasku tanpa melihatnya, aku mengambil susu hangatku meniupnya pelan.
"Sudah punya susu masih saja minum susu."