"Apa itu?"
Suara bariton memecahkan lamunan Blue yang tengah memandang ponselnya, sudah hampir empat puluh menit perempuan itu duduk di sofa sambil memandangi ponselnya dengan pizza yang menemaninya.
Blue menggeleng kemudian menekan tombol lock pada ponselnya, pikirannya masih tertuju dengan pertemuan singkatnya dua hari lalu. Memang percakapan kecil yang terjadi namun dampaknya masih membekas sampai sekarang.
"Drean," panggil Blue membuat pria di hadapannya mengangkat kedua alisnya, "aku ... aku ingin pulang ke Budapest, bisa kau tolong pesankan tiket untukku?"
Drean sedikit terkejut dengan permintaan Blue, sebelumnya Blue sengaja ingin menetap di Duisburg tapi entah kenapa perempuan ini ingin pulang tanpa alasan yang jelas. Masih belum menjawab mata elang itu menjelajah mengamati sahabatnya yang tengah menatap kosong ke arah luar jendela.
"Lupakan apa yang terjadi."
"Setelah apa yang dia lakukan?" tanya Blue dengan tawa hambar.
Drean masih diam menatap Blue yang kini menghadap ke arahnya, sembap mata Blue membuat hati Drean sedih entah kenapa Blue tidak mau bercerita apa yang terjadi dengannya dua hari lalu.
Drean maju selangkah membuat Blue mendongak, kedua tangan Drean berada di pundak Blue dengan perlahan pria itu menarik tubuh Blue ke dalam dekapannya, Blue tidak menolak namun di detik kelima airmata perempuan itu tumpah.
"Terkadang kesalahan seseorang terlihat besar dimata kita padahal kita juga bersalah tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan," papar Drean masih dengan posisi memeluk Blue, "sesalah apapun Leo ijinkan ia untuk menjelaskan."
Blue menggeleng keras dengan isakan yang keras. "Hatiku sakit."
Drean menghela napasnya pelan kemudian sedikit mundur agar bisa menatap wajah Blue, jemarinya dengan lincah menghapus airmata Blue. "Apa hati Leo juga tidak sakit? Aku memang tidak pernah tahu bagaimana rasanya dibohongi tapi aku pernah merasa kehilangan disaat mencintai. Itu sakit."
Blue masih diam enggan berkata apa, ia sedikit menunduk, kedua matanya ia pejamkan saat tangan Drean mengelus puncak kepalanya. Biasanya Blue akan menolak atau menjauh tapi untuk kali ini ia membiarkan sahabatnya melalukan hal ini.
"Ada saatnya telingamu menjadi tuli, bibirmu menjadi bisu, matamu menjadi buta. Dan tentu ada saatnya telingamu harus mendengar walau hatimu sedang sakit dan otakmu terlalu lelah dengan apa yang terjadi."
Drean menahan napasnya kemudian bibir pink-nya mengecup singkat puncak kepala Blue dengan rasa penuh kasih.
"Jika di dunia ini Tuhan bisa memberi kesempatan bagi mereka yang ingin berubah, maka kita sebagai manusia dengan derajat yang lebih rendah dari-nya kenapa tidak bisa?"
"Kesempatan kedua?" bisik Blue mampu di dengar Drean.
Drean mengangguk. "Sekali pun kau tak ingin memberinya kesempatan untuk menjelaskan tak apa. Asal ... kau jangan menyesal suatu hari nanti."
Blue mendongak menatap mata tajam itu, sejuk dan hangat pancarannya namun tak ada yang menenangkan Blue selain tatapan hijau milik Leo.
"Pasti ada alasan kenapa Leo seperti itu," Drean tersenyum kemudian mundur lima langkah dari Blue, "jangan sampai keegoisanmu membuatmu sedih dan menyesal yang berkepanjangan. Jangan berpikir bahwa hanya dirimu yang sakit tanpa mendengarkan penjelasan apapun."
Drean membalikan badannya meninggalkan Blue yang bergulat dengan pikirannya. Langkah kaki pria itu terhenti saat mendengar Blue memanggil namanya. Pria itu membalikan tubuhnya menatap Blue yang ternyata menatap kosong ke arahnya.