Aku mengingat kejadian itu dimana ia menangis dan menolak bertemu denganku. Aku mengingat bagaimana airmatanya tak lagi menetes, dan aku ingat bagaimana aku menghancurkan pertahanan kepercayaannya padaku. Aku ingat bagaimana jahatnya aku melukai perempuan yang aku cintai.
Leo menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai dua, malam ini langit tidak dihiasi bintang atau bulan, pria itu sekarang sudah mengingat apa yang terjadi pada dirinya, apa yang sudah terjadi, dan apa yang telah ia lakukan. Ia menyesal, sangat menyesal bahkan ia tidak berani bertemu dengan Blue, ia takut Blue tidak mau bertemu dengan dirinya, parahnya lagi Leo berpikir Blue akan memaki dirinya dengan kalimat kasar, sungguh Leo berpikir terlalu berlebihan.
Terselip rasa ingin membawa kabur Blue agar perempuan itu ketakutan dan memaafkan Leo, sungguh pria ini benar-benar ..., aneh. Sebagai seorang pria seharusnya berani menerima apa yang akan ia dapatkan setelah apa yang ia lakukan, benar, kan?
Pintu kamarnya terbuka menampakkan laki-laki kecil bermata biru berjalan kearahnya dengan bola minions dipelukannya, bisa ditebak itu Edward yang sedang berjalan menuju ayahnya, Leo merasa kehadiran seseorang pun membalikkan tubuhnya, tersenyum kecil kemudian ia mensejajarkan tingginya pada Edward mengingat ia belum bisa menggendong tubuh anaknya.
"Ayah belum tidur?" tanyanya dengan tersenyum menampakkan gigi kecilnya.
"Belum," Leo mengacak rambut Edward gemas, "kau sendiri kenapa belum tidur?"
"Iya, tadi aku menelpon Blue," jawabnya dengan ekspresi polos.
Leo diam selama beberapa detik, meyadari betapa pengecut dirinya, setelah pulang dari rumah sakit pria ini sama sekali tidak menghubungi Blue karena alasan yang konyol.
"Blue pergi ke dokter bersama Paman Drean," tambah Edward lagi.
Leo membuang muka menatap tajam ke tembok kamarnya, rahangnya mengeras, tangan kirinya mengepal kuat-kuat ingin mengamuk. Rasa cemburu membakar dirinya, seharusnya Leo yang pergi bersama Blue bukan pria lain.
"Ku harap kau tak menyesal bila seseorang berhasil menerangi gelapnya Blue."
Detik itu ia tersadar, apa yang pernah Payne katakan mungkin akan terjadi.
*
Gemuruh petir terdengar keras membuat Blue mendesah kesal karena tidak bisa pergi kemanapun, perempuan berbadan dua tersebut merebahkan dirinya di atas sofa biru yang senada dengan warna bolamatanya.
Suara ketukan pintu membuat matanya yang terpejam menjadi terbuka, perlahan ia bangkit dari posisi sebelumnya.
"Sebentar," suaranya memberi peringat pada si pengetuk agar sabar.
Blue memutar kenop pintu apartemennya, matanya menatap ke bawah melihat sepatu hitam dan perlahan ia mengangkat wajahnya hingga napasnya sedikit ia tahan saat melihat wajah tampan yang ia rindukan.