07. Sakit

786 56 0
                                    

Mata Gisca terbuka lebar saat membaca pesan itu. Ia bergegas mengambil jaketnya dan segera keluar rumah. Rasa khawatir juga rasa bersalah semakin menghantui dirinya. Andai saja dia lebih peka dengan keadaan kemarin, pasti tidak akan terjadi apa-apa. Tapi sekarang mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi, sahabatnya itu sudah kabur. Dengan modal nekat malam-malam begini, Gisca memberhentikan taksi dan menuju rumah Ghea.

Di dalam taksi Gisca hanya bisa berdoa semoga sesuatu yang buruk tidak terjadi pada Gavin. Hanya itu. Ia kembali membuka handphone-nya dan membaca ulang pesan itu.

Tante Lisa : Gigi, tolong tante, Gavin belum pulang juga, tadi dia marah besar sama tante dan pergi gitu aja. Tante mohon Gi.

Gisca mengusap pelipisnya pelan.

Please jangan mulai lagi Gav, gue mohon.

Taksi itu sudah sampai di depan rumah minimalis milik Ghea. Segeralah Gisca berlari dan masuk ke dalam rumah itu.

***

Kemeja merah yang awalnya dikancing rapih sekarang terbuka lebar. Hanya menyisakan kaus putih di dalamnya. Laki-laki itu mengacak rambutnya asal. Motornya ia parkir jauh dari tempatnya sekarang.

Ia duduk di hamparan rumput dan menekuk kedua kakinya.

"Bangsat!" kata kasar itu dengan mudahnya keluar dari bibirnya yang merah alami.

Ia mengambil batu di sampingnya dan melemparnya dengan kencang ke arah danau di depannya.

Pikirannya kembali melayang saat pertemuan haram itu terjadi.

Dua orang laki-laki baru saja keluar dari mobil mewahnya. Sedangkan dirinya sengaja ingin menaiki motornya dengan membawa sang Bunda.
Laki-laki yang satu sudah terlihat agak tua. Dan yang satunya seumuran dengan dirinya. Pakaiannya tidak sengaja sama, laki-laki muda itu memakai kemeja santai juga.

Gavin dan Bunda sudah duduk duluan di bangku yang sebelumnya sudah dipesan.

"Saya kira kamu tidak akan datang," ia tahu kalau pernyataan itu menyindir dirinya.

"Avin, senyum dong," Bunda menyeggol lengan Gavin pelan.

Gavin tersenyum. Namun tersenyu masam. Sangat terlihat jelas di kilatan matanya kalau dirinya benar-benar tidak suka berada di sini.
"Silahkan pesan dulu," ucap Tedi menyarankan mereka agar memesan makanan dulu.

Setelah menunggu selama hampir limbelas menit akhirnya makanan datang juga.
"Geo, gimana kabar kamu?" tanya Lisa---Bunda Gavin ramah.

Geo tersenyum balik. "Baik Tan, tante sendiri apa kabar?"

"Tante juga baik kok. Gimana sekolah kamu? Kalian satu sekolah kan?" tanya Lisa pada kedua anak laki-laki muda ini.

Geo mengangguk. Sedangkan Gavin tidak bereaksi apa-apa. Ia malah sibuk makan tidak memperhatikan ucapan Bundanya.

"Gavin, apa kamu tidak diajar sopan santun?" suara Tedi terdengar tegas. Ia sudah mulai muak dengan sikap Gavin yang seperti ini.

"Udah Pah, mungkin Gavin lagi ada masalah," Geo berusaha membela Gavin agar acara makan malam ini berjalan lancar.

"Anak itu memang selalu saja bermasalah!" ucapnya ketus.

Lisa langsung membelalakan matanya,  ia yakin perang akan terjadi di depan matanya sekarang juga.

Gavin menaruh garpu dan sendok yang ia pegang secara kasar. Ia bangkit.

"Memang sudah seharusnya saya tidak datang ke acara haram seperti ini." Ucap Gavin sinis.

Fanzone vs Friendzone // [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang