TIGA

2.1K 81 1
                                    

Ila berangkat sekolah seperti biasa, tak ada yang spesial, hanya saja mungkin pagi ini sedikit lebih. Ia menemukan Ara dengan ekspresi biasanya didalam Bis. Ila yakin bahwa mood Ara akhir akhir ini mulai membaik. Dengan semangat penuh, Ila duduk disamping Ara yang sedang menyenderkan kepalanya dikaca Bis.

Ara menoleh. "Eh pagi Queen Class, lesung pipi lo ga nahan. Asil deh"

Ila tersenyum, sudah seperti biasa jika Ara menyinggung lesung pipinya yang dalam. "Pagi Ara, semangat banget yaa"

"Tentu dong, kan ada heronya Ara, yaitu Ila. Hahahah"

"Dih, alay lo Ra." Ujar Ila sambil mengalihkan pandangan.

Sekolah sudah sangat ramai, dengan gaya yang sama, Ila memasukkan tangannya kedalam rok, dan rambutnya selalu dikuncir kuda atas, tak pernah sedikitpun untuk mengurai, bahkan tak menyisakan rambut satu helai pun. Suasana pertama saat Ila memasuki halaman sekolah adalah, pandangan anak laki-laki yang selalu tertuju padanya. Ila tak ambil pusing dengan tatapan itu, toh dirinya akan tetap sama. Bahkan pandangan semacam itu, sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Ila.

"Idaman banget ya lo La!"

"Laaa,,, gue ngefans lesung pipi lo!"

"Astaga Ila!, bagi bagi dong lesung pipi lo!"

"Woy, ayo liat pemandangan indah pagi hari..."

"Buset, itu anak siapa, manis beud"

"Gue iri deh sama Ila..."

Dan segala lainnya. Ila hanya tersenyum, mungkin suatu saat jika seseorang tau tentang aib dirinya, sudah dipastikan mereka akan pergi menjauh. Maka dari itu, Ila tak pernah merasa bangga pada dirinya, karena seribu kekurangan masih melekat pada dirinya sendiri.

Bel istirahat sudah menggema, Ila keluar kelas bersama Ara, kelas XI IPA 2 dengan kantin jaraknya cukup jauh, jadi kemungkinan Ila berjalan agak lama juga ke arah kantin. Apalagi banyak yang melihatnya dengan tatapan nyelonong, itu membuat Ara juga sedikit risih.

Setelah selesai makan, Ara menatap Ila dalam. "La, pipi lo biru?"

"Ha? Oh, tadi malem tuh cuman kepentok meja belajar, karena ketiduran pas belajar. Keliatan banget ya?" Ujar Ila, dan ini pasti kelakuan Deon.

Ara mengangguk mengerti. "Ohh.. eum, ngga begitu sih. Tapi, kalau ditamatin lumayan jelas"

Ila mengusap pipinya sambil melamun, bagaimana jika perlahan Ara mulai memahami kehidupannya?.

"Hey La! Kok ngelamun sih? Ada Kiki tuh" Bisik Ara sambil menatap belakang Ila.

"Ha? Eh?" Ila menengok kebelakang, dan menemui Kiki seorang diri.

Dengan sabar, Ila berdiri dan mencoba tersenyum paksa, walaupun dipaksa sekalipun, lesung pipit itu masih terbentuk dalam. "Kenapa?"

"Masih inget lomba itu?" Kata Kiki santai, dan ini membuat Ila sangat geram.

"Gue udah bilang kan Ki? Gue gak bisa!"

"Apa alesannya?" Sepertinya ucapan Ila tak cukup memuaskan Kiki, kemarin.

"Kenapa lo kepo? Gue udah bicarain masalah ini sama Bu Aning, dan gak ada masalah. Lo bukan siapa siapa gue malah sok urusin."

Kiki mengacak rambutnya pelan. "Gue butuh penjelasan"

"Apa segala sesuatu butuh penjelasan?" Ujar Ila tak mau kalah.

"Tentu, setiap sesuatu jika ditolak pasti butuh penjelasan" Balas Kiki tak mau kalah.

Ila tersenyum lagi. "Dan sayangnya, lo bukan orang yang tepat untuk tau itu." Ujarnya sambil menginjak kaki Kiki dan berlalu pergi disusul oleh Ara dibelakangnya.

Kiki mengaduh sakit. "Ah! Dasar Queen jadi jadian lo!"

Jika bel pulang sekolah sudah menggema seperti ini, Ila segera bergegas untuk pulang, takut Ibu marah dan ia berusaha membujuk Deon untuk kembali ke rumah. Ah ya, Ibu sebenarnya sudah menikah lagi, dan Ayah tiri mereka sering keluar entah kemana dan jarang sekali pulang. Jika Ayah pulang, pasti sasaran emosi pertama kali adalah Ibu, lalu Ila dan Deon. Setiap kali Ila mengingat hal itu, tak disadari air matanya jatuh dengan sendirinya.

Dan Ila berharap jika Ayah tirinya tak akan pernah kembali lagi, walaupun hanya menjenguk. Tepat tiga bulan setelah kepergian Ayah kandung Ila, Ibu menikah lagi dengan seorang pria ber-alasankan pekerjaan dan ekonomi –walaupun gaji Ayah ada tetapi tetap tak cukup untuk kami, dan akhirnya Ibu resmi mempunyai Suami lagi. Tapi, tak disangka akhir akhir ini Ayah sering keluar dan jarang pulang, entah apa yang Ayah lakukan diluar sana, Ibu tak tau. Pertama kali melihat ayah pulang, kami semua sangat senang, tetapi betapa terkejutnya kami, malah mendapat pukulan. Ayah dan Ibu saling membalas tak terima, kami kira Ayah akan memeluk kami hangat seperti bulan bulan lalu, ternyata salah, pria jahat itu mengkhianati Ibu. Mulai dari situ Ibu juga suka memukul kami, bahkan dengan keadaan sadar-pun, Ibu akan tetap sama.

Terkadang Ila sangat rapuh, ditambah lagi dengan hujatan dan fitnah dari tetangga, Ibu juga dimusuhi dan dikucilkan keluarga. Hati kami sangat rapuh, terutama Deon, dan Ila masih bersyukur diberi kekuatan untuk bertahan. Jika ia lengah sedikit saja, pasti ia akan terjerumus sama seperti Deon.

Hidup ini tak adil, mengapa posisiku sangat miring sekali? disekolah aku merasa sangat dihormati, dan dirumah aku merasa sangat dikhianati.

Kriekkkk...........

"Ayah???" Ila melihat motor Ayah diteras rumah, dengan langkah cepat ia masuk kedalam rumah.

Ila melihat semua barang berserakan, pot pot yang digantung jatuh hancur, dan taplak meja sudah terbuang entah kemana. Ibu menangis sambil memohon untuk mengakhiri jambakan dari Ayah. Ila segera menengahi, dan meneteskan air mata.

"Ayah! Berhenti! Jangan lukai Ibu! Ila saja!" Ujarnya sambil memegang kaki Ayah.

Ayahnya tersenyum miris. "Anak pembangkang! Masih bocah berani sok ikut campur!"

Bugh.

Ila tersungkur jatuh dilantai, Ibunya berteriak histeris sambil menangis. "Jangan sakiti anakku! Aku saja!!!"

"Kau sama saja dengan anakmu!"

Plak...

"Pergi kamu!...saya gak sudi lihat wajahmu!" Teriak Ibunya sekali lagi dan menunjuk wajah Ayah.

Ila sudah meringis kesakitan, mungkin perutnya lebam biru, sudah biasa seperti ini tapi mungkin ini sedikit lebih parah –sehingga rasanya sangat sakit. Ayahnya pergi dengan menendang semua perabotan rumah, Ibunya terduduk lemas sambil menjambak rambutnya sendiri dan menangis. Sungguh, hati Ila sangat rapuh sekarang, entah mengapa rasanya sesakit ini. Dan mungkin ia butuh Deon sekarang, anak laki-laki yang selalu Ibunya banggakan.

Dengan sekuat tenaga, Ila mencoba bangkit dan memeluk Ibunya, sesakit apapun luka diperutnya, jika Ibu menangis –maka lebih sakit melihat Ibu menangis dari pada luka ini.

"Ibu, disini ada Ilaaa.." Ujarnya sambil sesenggukan.

Air mata yang selama ini ia pendam agar tidak keluar, pada akhirnya akan keluar juga, bagaimanapun membentengi, jika sudah terlanjur, maka semua akan sia-sia.

Ila memejamkan mata sambil memeluk Ibu dan berusaha menenangkannya. "Sudah bu, kita bangkit sama-sama"

Ibu masih terus menangis, dan malah menjambak rambut Ila. "Kamu tau gak! Ibu lelah La!"

Biarkan... jika rasanya sesakit ini, biarkan. Asal Ibu tidak menangis.

"Awhhh –ampun bu...hiksss......" Ujarnya sesenggukan.

Mungkin ini yang terjadi sekarang, masalah terus datang, Ila tetap tersenyum dan berusaha untuk kuat. Demi dirinya sendiri, Ibu dan Adiknya, tetapi nyatanya disini hanya Ila yang berjuang. Ila terus berusaha agar membuat Ibu dan Adiknya terus bahagia, tak peduli dirinya bagaimana. Dan sekarang, ia harus kuat akan fisik dan jiwanya, kalau ia menyerah. Siapa yang akan mengurus semua ini?.







***







Keep waiting-

Queen Class [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang