EMPAT

1.9K 88 3
                                    

Setelah kejadian yang membuatnya terpuruk lagi, Ila berusaha tersenyum kembali, kemudian bangkit bersama Ibunya, walau nyatanya hanya dirinya yang mampu memikul beban ini. Andai saja, Ila suka berbagi suka dukanya, pasti beban ini cukup ringan. Berbalik dari itu, ia lebih suka menyimpan segalanya sendiri, toh tak ada yang ingin tau tentang kehidupannya. Siapa lagi? Orang orang yang menyebutnya Queen Class? Apa orang itu dijamin seribu kuadrat peduli? Sudah dibilang kan? Mereka hanya terobsesi, bukan untuk sepenuhnya peduli.

Ila terduduk di kursi perpustakaan sekolah, selain menenangkan diri, ia juga ingin sejenak tidur, mungkin efek itu berdampak pada pola tidurnya. Ila sudah menyerahkan Ara pada Husna untuk menemaninya makan di kantin, karena mungkin Ara anak yang berbeda dari umumnya –ia pendiam, tak mau bergaul dan mudah minder.

Sambil menelungkupkan kepalanya, ia meneteskan air mata kesekian kalinya –tak terhitung oleh jari, dan tak terbayang sudah keberapa kali, untuk hal yang sama lagi.

Dug...

Tuk...

Tuk...

Tuk...

"No respons?" ujar seseorang didepannya.

Ila masih sama, hanya bergesar untuk menahan air matanya –tanpa mendongak.

"Cewe kalau nangis tandanya butuh perhatian. Apa lo juga butuh itu?" lanjutnya lagi.

2 menit tak ada jawaban, hanya embusan napas yang terdengar.

"Mau gue beliin es krim? Atau es pelangi? Atau es hujan? Eh-?"

Tak ada jawaban.

"Mau cerita ke gue?"

Tak ada jawaban lagi. Yang mengajak berbicara mengembuskan napas pelan sambil menggosok kedua tangannya –entah dingin atau grogi.

"Kenph..a?" ujar Ila mendongakkan kepalanya pelan. Ia tau bahwa itu Kiki, bahkan dari gaya bicaranya pun sudah sangat menunjukkan. Ila sengaja tak merespons, agar air matanya berhenti sejenak dan menetralkan suara bindeng-nya.

"Lo nangis?" ujar Kiki sambil menautkan kedua alisnya.

"Apaan? Orang gue baru bangun tidur" jawab Ila santai.

"Tuh? Kenapa hidung lo merah?"

"PILEK!"

"Kampret, gue kirain nangis, tadinya gue nawarin es krim sama tempat curhat. Taunya lo cuman pilek" kata Kiki sambil menatap sekeliling perpustakaan yang lumayan sepi. Tangannya disilangkan tepat didepan dadanya, entah, tadinya ia kemari ingin meminjam buku tambahan Matematika, dan malah bertemu Ila yang sedang menelungkupkan kepalanya.

"Lo jangan sok baik" Ila membuang muka masam.

"Oh yaudah, gue sih cuma kasihan. Gue balik" Kiki beranjak berdiri kemudian meninggalkan Ila seorang diri.

Ila menatap Kiki pergi, lalu menghilang dibalik rak rak buku yang lebih tinggi dua kali dari pada-nya. Lalu ia berkata dengan lirih "Sama aja, mereka cuma kasihan dan terobsesi, tanpa peduli sepenuh hati"

Disisi lain Kiki membaca buku ditemani dengan teman temannya, ya –rencana ia akan mengikuti lomba Matematika itu sendiri tanpa Ila, beberapa lomba kemarin ia sering diajukan bersama sama, jadi lebih kenal satu sama lain.

"Kayanya tuh buku, dalemnya ada foto cewe hot deh. Betah banget noh Kiki mantengin-nya?" ujar Eki sambil memainkan fidget spinner-nya.

Devon terkekeh pelan. "Yaa masa kaga tau temen lo satu ini. Otaknya encer"

Rizal memotong. "Wait, tapi kenapa Kiki kaga dapet gelar King Class ya?"

"Udah, apaan sih lo pada. Ganggu gue aja,"

"Sensi banget lo Ki. PMS kali ye?" celetuk Devon.

"-tapi, ada benernya juga sih? King Class?" lanjutnya.

Eki menahan tawa, kemudian menggelegar. "KINGKONG KELAS, hahahaha!"

"Eanjir, gakuna, hahahahaha..." ujar Rizal.

"Apaan gakuna?" Eki bergumam sambil melihat seluruh temannya, dan Kiki masih saja geleng geleng pasrah.

"Tau nih?" tambah Devon.

"HAHAHAHA .... GA KUAT GA NAHAN BEGO!" tawa Eki keras.

Krik...

Krik...

Jangkrik...

Ngenes...

Cengo...

Malu...

Dungtak...

Dung...

"Eh jahat lo pada, garing bener ya?" lanjutnya sambil memegang perutnya yang sakit sehabis tertawa.

"Muka lo kek kebelet boker tau gak? Najis, mirip lipatan ketek anoa" ujar Devon sambil bertingkah jijik.

"Asli, muka lo najisun. Tuh cicak pada mabok karena jigong lo! Ketawa kenceng bener gilak!" geleng Eki.

Kiki masih sama, hanya memperhatikan. "Apa salah gue ya Allah, punya sohib pada gila" ujarnya pelan sambil pergi berlalu.

"WOY! KINGKONG!"

"Eh si Kiki bener PMS kali ya?"

"What the fake? Eh salah, maksudnya ef u ce ka"

***

"Gue udah bilang kan, Ayah itu gak punya otak!"

Ila menggeram sambil mengepalkan tangannya. "Lo gak pernah berubah demi kita Yon. Sadar, kalau Ibu itu butuh kita, bukan cacian dari mulut lo"

Ila memaksa Deon untuk pulang yang kesekian kalinya, tetap tak bisa, mungkin –kebahagiaan Deon tak bisa ia dapatkan di dalam rumah. Ila sering merasa juga bahwa dirinya tak bisa menemukan setitik bahagia di dalam rumah. Entah itu karena masalah keluarganya atau Ibunya yang sering kasar kepadanya.

"Gue sadar, tapi gue gak bakal bisa balik. Lo tau kenapa kak? Karena bahagia gue di luar rumah! Apa masa masa remaja gue indah sama kayak yang lain? Engga!" ujar Deon keras.

"Gue terpaut satu tahun doang sama lo, masa SMA gue ngga kaya orang lain, yang bisa hidup tentrem dan ngejalanin sekolah dengan banyak temen" lanjutnya lagi dengan lirih.

Di antara satu kursi yang terpisah 3 jengkal telapak tangan, Ila masih merasa bahwa Deon masih sangat jauh di gapainya –artinya ia gagal memberi perlindungan pada Adiknya dan memberi kasih sayang pada Deon. Dekat dengan area Club, sekuat tenaga Ila membawa Deon menetap, nyatanya tetap sulit, setiap malam Deon selalu menginap di rumah temannya –sekolah pun juga tak niat, hidupnya kacau, semua hancur karena satu hal.

"Maaf Yon, Kakak belum bisa jadi Kakak yang baik. Jaga diri lo baik-baik ya, jangan buat masalah, Kakak yang akan berjuang sendirian, Kakak akan berusaha demi lo dan Ibu. Kakak pulang ya, kamu pulangnya hati-hati –dan satu lagi, kalau Kakak dateng, jangan pernah nolak" ujar Ila sambil tersenyum dan beranjak pergi.

Deon menatap Kakaknya pergi, di lubuk hatinya, ia pernah menyesal –dan sekarang terulang lagi dengan masalah yang sama.

Dengan langkah gontai, Ila tersenyum, menghirup angin dalam-dalam, kenapa rasanya ia sangat sulit bernapas lega dan bebas, baru kali ini ia bisa merasakan kebebasan dunia tanpa memikirkan keluarganya sejenak.

Apapun itu, gue bakal terima selapang hati.


Queen Class [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang