Selama ini, ada perasaan yang tak pernah terhenti untuk menyukaimu. Sewajarnya, remaja memang begitu, di ambang kebingungan, di ambang kegelisahan, dan di ambang segalanya. Masa itu, dimana masa yang sepatutnya kita kenang. Jangan biarkan dirimu di kekang oleh waktu dan belenggu perasaan. Sungguh sia - sia, dan mengapa kau tak menikmati sesuatu yang akan kau kenang ketika tua? Jadi? Apa cinta akan menjamin kau bahagia? Tidak, kau salah besar, tidak hanya cinta, persahabatan pun memiliki peran lebih besar. Di situ kalian mengerti arti saling mengorbankan~ jadi apa kalian tahu arti kalimat panjang ini?
Ila berjalan, menyusuri malam, terus berjalan di hehingnya malam. Ia tak bisa tidur, kepalanya pening ingin keluar, matanya tak bisa fokus. Di rumah sedang terjadi perang panas antara Deon dan Ibu, Ila tak bisa melerai dan akhirnya malah berujung keluar untuk menghindari pukulan selanjutnya dalam rumah.
Ila duduk di trotoar pinggir jalan, kepalanya menunduk, dia overdosis obat, berbagai obat penenang sudah di telannya. Siapa tahu bahwa Ila suka meminum obat untuk menenangkan diri? Jika sudah begitu, Ila akan kecanduan dan lupa akan kebahagiaan.
Sorot lampu motor terlihat dari kejauhan, pengendaranya berjalan pelan seakan mencari sesuatu. Ah, nyatanya tidak, ternyata ia habis membeli obat pegal di apotek tempat Ila membeli obat penenang juga.
Motor berhenti, tepat di depan seorang gadis menundukkan kepala. Sangat miris.
"Mba?" motornya dimatikan, Kiki membuka kaca helm.
Ila mendongak dengan setengah matanya yang masih terpejam. "Hah?"
"Ila! Lo ngapain malem - malem disini woy!"
"Cepet naik, gue anter pulang!" lanjutnya.
Dengan lemah, Ila menuruti sambil bergeming. "Jangan pulang ke rumah, bawa gue kemana aja selain rumah"
"Mau ke apartemen gue?" dan dibalas anggukan oleh Ila.
Kiki sudah mewanti akan hal ini, dan pada akhirnya ini terjadi juga pada Ila. Ia tak begitu mengenal gadis itu, nampak luar memang ceria dan seperti umumnya, dan di dalam ia tak tau harus berbuat apa.
"Lo ngga papa?"
"Ada yang sakit?"
"Lo habis ngapain?"
Ila tertunduk dengan kepala yang di satukan dengan meja kecil Kiki.
"Ngga ada"
Kiki beranjak, mengambil air lemon, lalu menyodorkan pada Ila. "Lain kali lo boleh cerita"
Seketika Ila mendongak. "Sementara, gue boleh disini?" dengan mata merahnya.
"Sampai lo bener - bener pulih" senyum Kiki, yang ia pernah berikan dahulu pada Alda.
Esoknya Ila tersadar, tanpa siapa - siapa di sebuah ruangan. Ia menghela napas, ia tahu bahwa ini apartemen Kiki, memang dia yang meminta untuk menginap. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, yang artinya ia tidak sekolah hari ini. Dengan rasa penasaran, Ila melihat - lihat tempat tinggal Kiki, terpampang pigura kecil di sudut ruangan, seorang ibu dan seorang anak kecil. Kesimpulannya, itu adalah Ibu Kiki dan di sampingnya sudah pasti Kiki.
Ila tersenyum, bahagianya Kiki saat ini, masih mempunyai seseorang yang dicintainya. Tetapi, Kiki pernah berkata kalau ia rindu orang tuanya? Seketika Ila berhenti tersenyum, mulai penasaran, tetapi ia tak akan mengusiknya pada Kiki, sampai Kiki berkata padanya sendiri.
Tujuannya adalah sebuah ruangan bekas, terdapat satu kursi disana dengan meja plusnya, berwarna hijau menyala. Ila masuk ke ruangan bekas pengumpulan kapas ini, ia sudah bereskan ruangan rosok ini, dan meminta izin untuk meninggali selama ia ada masalah. Dan disinilah ia mengadu, di dalam ruangan yang akan menggema ketika ia meanngis. Ila duduk, menelungkupkan tangannya, meneteskan air mata. Ia tak ingin pulang, melihat kejadian itu lagi, sampai saat ini ia tak ada niatan untuk pulang. Selesai sudah semuanya di akhir cerita, bahwa Ila akan hidup dengan kesengsaraan.
"Ki, ngapa lo bengong?" tanya Devon di rooftop perpustakaan.
"Ngga ada." Katanya singkat.
"Sasa masih sama?" Eki bertanya dengan sengaja.
Kiki mengangguk, memejamkan mata. "Tadi malem dia pegel - pegel, akhirnya gue keluar beli obat"
Rizal angkat bicara. "Lo ke panti apa dia yang ke apart lo?"
"Ya gua yang ke panti lah. Tapi, ada sesuatu tadi malem"
"Apa? Siapa lagi?" sahut Devon.
"Ila, gue ketemu sama dia, kaya ngga punya tujuan hidup, akhirnya gue bawa ke apart"
"Sasa gimana?" serobot Eki.
"Habis Ila tidur, gue pergi ke panti" embusan napas Kiki kasar, seperti ada yang mengganjal.
"Sasa marah?" Rizal memicingkan mata penuh selidik pada Kiki.
Kiki mengangguk. "Iya sedikit, mungkin dia nunggu kelamaan"
Devon menepuk bahu Kiki. "Alda, Sasa, Ila. Jangan mainin tiga cewe demi sesuatu"
Kiki mengangguk, menikmati semilir angin di atas rooftop.
"Gimana kamu bisa melakukan kekerasan pada ibu kamu sendiri?"
Deon memejamkan mata. "Saya tidak sengaja"
"Tinggal sendirian?"
"Sama kakak saya"
Polisi masih mengintrogasi Deon. "Saya tidak tau"
"Keluarga mu hancur sejak kapan?"
"Sejak ada ayah tiri saya"
"Karena kamu di bawah umur. Saya akan mengamankan kamu sampai keluarga menjemput kamu" katanya "Masukan dia ke sel" dan Kiki hanya menuruti.
Ibunya terbaring di rumah sakit, dengan luka serius di kepala sampai tak sadarkan diri. Ini karena Deon mempunyai emosi yang tinggi. Malam kemarin, Ibu mengekang Deon untuk kumpul bersama temannya, dan itu membuat Deon tak senang sehingga memukul kepala ibu dan mencengkramnya sampai ibu terjatuh lemas. Ila hanya melihat tanpa berbuat apa - apa, ia mengambil jaket lalu berlari keluar rumah, tak pandang siapa yang menganggapnya gila, karena ia sudah cukup gila dirumah.
Dan sampai saat ini ia tak tau harus berbuat apa.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Class [Completed]
Teen FictionYang ada di bayangan kalian tentang 'Ratu Kelas' mungkin bisa membuat terheran - heran. Gadis cantik, pintar, bahagia dan di kelilingi orang yang dia sayang. Bisa saja dapat membalikkan fakta dan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Kisah percint...