DUA PULUH DELAPAN

839 31 0
                                    

Perkataan itu semacam jarum, jika sudah menancap, akan mebekas, segala lara dan perasaan yang pernah tak tersalurkan-QS


Ila memencet bel berulang kali, membuatnya kesal akan hal tersebut. Benar, Kiki tak ada didalam, lalu dimana dia? Perasaan Ila miris, hatinya perih, bahkan Sasa sekalipun tidak mengetahui dimana Kiki sekarang, dari yang Ila tahu dari Sasa, bahwa Kiki sempat datang padanya. Kiki mengatakan bahwa sedang ada masalah, Sasa hanya menanggapi dengan anggukan dan senyuman, gadis putih itu terlalu sabar dan mengerti Kiki, bukan, ini bukan saatnya untuk membandingkan dirinya dengan Sasa.

Kemana lagi ia harus mencari Kiki? Ah, Ila teringat bahwa ia tinggal bersama Paman dan Bibinya, Kakaknya juga ada, ini kesempatan Ila untuk mengetahui segalanya tenang cowok itu.

"Permisi.." pintu itu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita lengkap dengan senyumnya.

"Iya?"

"Rumah Kiki ya?"

"Oh iya, ada apa ya nak?" sahutnya, "Ayo, silahkan masuk"

Ila tersenyum, mengikuti Bibi Kiki dari belakang. "Mau cari Kiki, ada?"

"Hm Kiki, dia lagi keluar tapi nggak tau kemana. Eneng temennya?" tanya Bibi Kiki dengan lembut, berhasil, ternyata Kiki juga tak ada dirumah ini.

"Iya bu, saya temennya –Ila, kebetulan Kiki nggak ada di apartnya. Kepikiran untuk kesini"

Bibinya mengangguk, tahu akan hal yang dibicarakan gadis di depannya ini. "Dia jarang dateng kerumah nak, biasanya juga kelayapan ngga tahu kemana. Ibu rasa dia ada dirumah temannya,"

Agak terkejut, Ila mulai penasaran. "Jarang dirumah bu?"

"Iya.." angguknya pelan, "Biasanya dia datang kalau lagi kangen masakan Ibu atau lagi sakit. Selebihnya, dia bisa mengatur kehidupannya sendiri"

Jadi. Ila harus mencari Kiki kemana lagi? Hatinya gelisah, sudah hampir seminggu Kiki tanpa kabar, bahkan hanya bertatap mukapun sepertinya enggan. Ila merasa bersalah, gadis itu seperti pemain antagonis, padahal sebenarnya gadis itulah yang terjebak. Ternyata, Kiki benar – benar membuatnya hilang arah, tak tahu kemana. Untuk saat ini, Ila hanya tersenyum miris, penuh peluh keringat. Keinginan untuk menemui Kiki disekolah gagal, bahkan sekedar menatap-pun tak mungkin, mana bisa ia menjelaskan semuanya?

Ila menyerah, datang kembali menemui Ibunya, sekarang perjanjian itu telah selesai. Segalanya yang berbau Kiki sudah ia buang, bukannya tak ada niat untuk menjelaskan. Tetapi, percuma bukan? Ketika seseorang menjelaskan namun orang yang mendengar tidak perduli? Sangat menyakitkan. Begitulah rasanya.

"Ibu, Ila datang"

"...pengen rasanya buat peluk ibu lagi"

"Ila kangen, Ila lelah.." tangisnya meluncur, sangat pelan, memenuhi pipi itu.

"...jadi, Ila harus gimana bu?"

"Ila, jatuh hati. Sama orang yang udah Ila sakiti"

"...berulang kali bu" bulir air matanya menetes deras, mendekap sang ibu.

Ibunya terbangun, menatap sendu wajah gadisnya. "Ila, sayang..." katanya pelan.

Ila mendongak, melihat ibunya. "IBU?"

"Suss..."

"..susterrr.."

Dengan keadaan yang begitu resah, Ila meneteskan airmata berulang kali, Ibunya telah beberapa persen dinyatakan sembuh, berkat therapy dan penjagaan Devon, Ibunya kembali sadar. Sekarang, bukan waktunya untuk memikirkan Kiki, sejenak Ila melupakan hal – hal yang membuat dirinya tertahan dalam satu lorong waktu.

Ibunya, siuman.

Sekuat tenaga, Ila mengetuk pintu itu yang kedua kalinya. Terdengar knop pintu yang hendak dibuka. Ila berharap itu Kiki, cowok yang selama ini membuat hati Ila tak menentu. Genap dua minggu, Ila menemukan setitik lagi cahaya kesempatan, bahwa Alda juga dinyatakan sembuh, kemungkinan akan sedikit susah untuk kembali berkomunikasi, tetapi sebisa mungkin dokter terus melakukan hal yang terbaik. Ternyata, Kiki pergi menemui Alda, merawat dan menjaganya setulus hati. Ila, cemburu.

Mata itu, kembali tertuju pada Ila. Tak kuat menahannya, airmata Ila lolos begitu saja. Jadi, begini rasanya tak jumpa lama, rindu, bahkan ia hanya bisa menyebut Kiki dalam heningnya malam. Ila tahu bahwa hati Kiki masih sama, masih diambang ketidak pastian, hanya Ila yang sudah menjatuhkan hati. Biarkan, ini urusan masing – masing.

"Ila?" satu kata lolos dari mulut Kiki, ia benar – benar rindu.

"Ki, gue minta maaf.."

"...gue nggak ada niat buat macem – macem.." tunduknya merasa bersalah, bibirnya bergetar.

"Gue tahu." bahkan sesingkat itu.

"Maaf, gue bisa jelasin semuanya" ujar Ila meinggigit bibir bawahnya takut.

Kiki tersenyum sangat tipis. "Gue udah tahu semuanya.."

Lagi – lagi Ila mendongak, mencoba menyamai Kiki. "Apa?"

"Soal Alda yang depresi, soal Devon dengan perjanjian itu, soal gue yang jadi sasaran Alda, soal gue yang ngga bisa move on, soal lo yang jadi pacar gue, soal kita dan semuanya. Udah jelas, udah cukup.." kata Kiki jelas namun cukup membuat Ila tersentak kaget.

Kalau saja Kiki sudah mengetahui semuanya, lalu mengapa Ila susah payah datang ke apartnya dan memikirkan perasaan Kiki sepanjang hari? Ila, merasa kecewa, merasa bahwa ini semua sudah cukup jelas, ia tak perlu menjelaskan apa – apa lagi. Pasti, Devon yang menjelaskan, dan penjelasan itu sudah tentu akurat.

"Bagus deh kalau begitu, gue jadi tenang.." ujar Ila dengan senyuman yang manis, lesung pipi itu terlihat jelas. Namun, tak membuat hati Kiki tergerak untuk melakukan sesuatu.

Ila berbalik, hendak pergi dan melupakan perasaan yang lalu – lalu.

"Gue kecewa La, jujur.." perkataan yang meluncur dari mulut Kiki, seakan membuat Ila tahu bahwa disini, mereka sama – sama kecewa dan menyedihkan.

"...gue harap, lo ngga akan bahas yang udah berlalu"

"Gue minta maaf..."

"...udah buat lo khawatir dan takut.."

Bahkan, asal lo tahu Ki, gue hampir setiap hari nyari tahu keberadaan lo-









//

jangan lupa vote & comment!

Queen Class [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang