Ternyata, seseorang itu tak menemanimu, ia hanya berlabuh sekedar mengantar sesuatu yang berharga. Lalu kembali, ketempat dimana dia berasal. Bukan dari hatiku, namun dari seseorang yang pernah membuatnya tersipu malu lebih dari diriku-QS
"Dia sampe bilang begitu Pa?" tanya Devon sambil menggepu tak menentu.
Dan yang dipanggil papa pun mengangguk, menandakan bahwa perkataannya benar – benar serius. "Cepet kamu selesaikan masalah ini dan bertindak, Alda sudah berubah. Dia, depresi"
"Segitunya Pa?" Devon mencemaskan Kiki, tak salah lagi ia harus cepat bertindak.
"Iya Dev, Mamanya bilang sendiri. So, Papa cuma berharap sama kamu buat kelarin ini, dengan cara apapun" dan Devon hanya mengangguk menyanggupinya, walau dalam hati ia tak tau akan berbuat apa.
Sepertinya, memang begitu, Alda mulai ada masalah dengan penyakit depresinya, dan sampai saat ini Kiki ataupun yang lain belum mengetahui hal itu. Cepat atau lambat, semua akan terungkap, entah Kiki yang akan menggantungkan perasaannya atau Ila yang terus bertahan dengan rasa tak menentu.
"Eh Zal, Kiki kemana?" tanya Ila menanyai Rizal yang kebetulan lewat depan kelasnya. Pasalnya, daritadi Ila tak melihat tikus got itu melewati kelasnya, biasanya juga ngeper tuh bocah.
"Oh, dia lagi ada di mabes, coba lo cek aja La"
Ila bergidik ngeri, membayangkan mabes saja sudah membuatnya berpikir yang macam – macam. Mabes itu Markas Besar, isinya murid – murid nggak pada taat, hobby ngisep tembakau, atau vapor, bisa juga malah berantem nggak jelas. Dan anehnya, mengapa Kiki anak dingin dan jahil bisa ketempat seperti itu? Telinganya nggak salah kan?
"Mabes?"
Rizal mengangguk, mengiyakan. "Tapi dia nggak macam – macam, dia cuma disuruh manggil Bara aja"
Bara? Murid nakal yang suka tawuran dan adu jotos? Murid paling laknat?
"Oh..." sahutnya pelan, "Terus, gue harus kesana gitu?"
"Eh ya jangan, mending lo kekantin aja, siapa tahu dia jalan kesana"
"Gue ngga mau makan, gue maunya ketemu Kiki, Zal"
Devon datang, mengisyaratkan agar Rizal pergi, seperti mengerti apa yang dimaksud, Rizal pergi dengan sendirinya dan melambaikan tangan pada Ila.
"Ngomong bentaran boleh kan ya La," ujar Devon lalu melengang entah kemana dan disusul dengan Ila di belakangnya.
Tempat ternyaman adalah ruangan bekas Lab.IPA. Lantai paling atas, paling sepi, ena buat santai atau bolos pelajaran, tapi ngga ena buat dibuat ena – ena ya.
"Ngomong aja Dev.."
Devon menjelaskan semuanya dengan rinci, Ila mendengarkan dan terkadang menganggukan kepala, disaat tertentu ia merasa iba dengan perkataan Devon. Jadi, Alda depresi, ya, itulah kesimpulan yang bisa ia dapat. Alda senasib dengan Ibunya, dan Ila tak bisa membiarkan itu terjadi.
"La, gue harus mulai darimana buat ngasih tahu Kiki?" nadanya terdengar khawatir, terlihat dari raut sedih Devon, bahwa ia amat melindungi sahabatnya. Meski begitu, mereka memiliki ikatan yang melebihi teman, dan Ila merasa salut akan hal itu.
"Rizal sama Eki udah tahu sama ini semua?" tak heran, Devon mengangguk, mengiyakan.
"Menurut gue, lo harus ngasih tahu Kiki secepatnya, jangan sampai Kiki tahu dengan sendirinya. Lo tau kan Dev? Gimana rasanya ngedengerin masalah yang dateng itu kita denger sendiri? Lo sebagai teman, harus bisa berusaha yang terbaik demi Kiki" ujarnya spontan, meski begitu hatinya tak sepenuhnya rela. Dasar, munafik.
Devon tersenyum tipis. "Iya maunya juga gitu La, dan masalah lo jadian sama dia baik – baik aja kan? Apa ada problem?"
"Eh, baik kok. Selama perjanjian lo nge-jagain ibu gue berlanjut. Gue juga akan jadi pacar Kiki.."
"Lo," katanya terputus, "Keberatan?"
Dengan napas yang diembuskan panjang, Ila berkata. "Awalnya sangat, lama – lama gue paham, selain masalah yang harus gue hadapi, gue juga harus bisa membantu orang lain. Dan, ini saatnya gue tahu siapa sebenarnya Kiki, Alda dan Sasa"
"Lo udah mulai menjatuhkan hati?" tanya Devon terbata – bata, takut akan menyakiti Ila dengan caranya.
"Mungkin.."
"Mungkin apa?"
"Mungkin iya, mungkin enggak." Tawa Ila.
Prok..prok..prokk...
Suara teput tangan terdengar, derapan kaki bahkan mulai mendekat, dengan senyum setan itu Kiki masuk. Mencoba menyabarkan diri, tidak banyak bicara, dan hanya bisa tenang, melihat kedua sejoli mempermainkan hidupnya. Tidak Ki, bukan begitu.
"Bagus. Gue, suka" katanya singkat.
Ila menganga lebar dan Devon juga tak kalah dengan Ila.
"Kiki?" ucap Ila separuh kehilangan nyawanya.
Devon hendak bicara, namun Kiki lebih dulu menahannya.
"Jadi, Alda depresi? Jadi, alasan Ila nerima gue adalah karena takutnya gue dibunuh sama Alda?"
Mereka terdiam.
"Bokap lo tahu Dev? Dan lo yang merencanakan semuanya? Supaya Ila mau nerima gue?"
"Jadi sekarang, semuanya ngga semudah yang gue pikir"
"Sahabat yang membohongi gue dan...seorang cewek kelas rendah yang rela nerima gue dengan rasa belas kasihan?"
Telinga Ila sehat, apa? Cewek kelas rendah?
Ila tersenyum miris, hatinya bagai tercabik clurit. Begitu perih dan menyedihkan.
"Apa karena gue nggak bisa move on dari Alda?"
"Apa kalian khawatir? Karena gue akan dibuat macam – macam oleh Alda?"
Bahkan, beribu – ribu kali, Kiki lebih serius dan menyeramkan dari biasanya. Cowok itu, sudah mendengar, awalnya ia tahu jika Ila mencari dirinya saat Kiki sedang berada di Mabes. Kiki mencari Ila ke seluruh kelas namun nihil cewek itu tak menampakkan batang hidungnya. Dan tempat satu – satunya ketika jam seperti ini alias kosong adalah Lab.IPA. dan right! Ila dan Devon sedang membicarakan apa yang menayangkut tentang dirinya. Hebat.
Ila berdiri, hendak mendekat dan menjelaskan pada Kiki. "Ki, dengerin!"
Kiki tersenyum licik, memandang Ila dengan tatapan dingin. "KITA.PUTUS"
"Ibu Ila? Kalian jadiin inti dari rencana kalian? Setega itukah barter kalian kepada gue?" senyumnya devil dan sengaja menujukan itu untuk mereka berdua.
"Dan lo Devon, gue kira lo sebaik orang yang gue sayang. Tapi, lo musuh terbaik yang bisa memainkan peran gue dari belakang" ujarnya sembari keluar dan meninggalkan mereka berdua. Kiki, entah kemana.
Sejak keajdian itu, semuanya berubah.
"Lo tenang aja La, semuanya akan baik – baik aja" kata Devon penuh keyakinan.
"Tenang gimana Dev? Ini udah hampir seminggu Kiki nyuekin kita, bahkan dia pura – pura ngga kenal sama kita"
"Laa"
"Dev, please, kita itu sama – sama khawatir. Jadi, berhenti untuk menguatkan diri sendiri, kita harus jelasin semuanya.."
Devon berdecak. "Percuma La! Gue udah datengin ke apartnya dan lakuin segala cara. Dan lo tahu? Dia bahkan ngusir gue, seakan gue sampah!"
"OKE! Saatnya gue yang bicara sama dia" tegas Ila pada Devon.
Tatapannya sayu, Devon hanya menuruti. Baginya, semuanya terlalu semu, tak nyata dan hilang arah. Semua gelap, tidak seperti apa yang direncanakan.
Semuanya palsu, membuat Kiki tahu bahwa hidup tak selamanya berarti.
Yoo, balik lagi sama aku.
Beberapa part lagi ending. Are you ready guys?!
Keep waiting and give me a vote & comment!
-Regina Eriyanti
![](https://img.wattpad.com/cover/113737144-288-k921236.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Class [Completed]
Teen FictionYang ada di bayangan kalian tentang 'Ratu Kelas' mungkin bisa membuat terheran - heran. Gadis cantik, pintar, bahagia dan di kelilingi orang yang dia sayang. Bisa saja dapat membalikkan fakta dan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Kisah percint...