"Gawat, gawat, gawat. Hari ini ada ulangan Kimia. Kenapa sih nggak bilang daritadi," oceh Junex marah-marah di samping Elid.
"Aku juga tahu dari Lea. Ia baru saja mengirimiku pesan," sahut Elid susah payah.
Mereka memelankan kaki mereka saat gerbang Sayon mulai terlihat. Jelas gerbang sudah tertutup daritadi. Seperti biasa di situ sudah hinggap pak satpam dengan pandangan heran.
"Jun, kalau kita dari gerbang, Pak Joe pasti akan menahan kita, dan kita tidak akan ikut ulangan," bisik Elid.
"Indeed. Kita harus melakukan sesuatu," kata Junex. Muncul seonggok ide di pikirannnya, lalu ia membisikkannya kepada Elid. Kedua sejoli itu saling menatap dan saling tertawa setan. Hihihi.
Saat tiba di belakang sekolah—bersiaga seperti tentara—mereka menaiki tembok. Lumayan tinggi, sih. Tapi atas kerja sama, misi sesusah apa pun akan berhasil. Mereka sudah di atas tembok. Tapi diam-diam, ada seseorang yang mengikuti mereka...
"Capek juga naiknya," kata Junex yang sempat-sempatnya duduk sambil mengeluh.
"Aku jadi pengen makan," kata Elid mengelus perutnya. Ia pun duduk di samping sahabatnya.
"Kalian lapar? Ini ada makanan," kata seseorang. Suara lelaki. Datang bersamaan munculnya sebuah tangan sambil menjulurkan pisang ke samping Elid.
Elid kebingungan. Pisangnya menarik juga. Tapi begitu melihat tangan dengan bulunya agak lebat, lalu menuju wajah berkulit coklat, tersenyum sangat lebar, bermata besar dan bulat, jambangnya tebal, alisnya tebal dan rambutnya jingkrak seperti kumpulan duri, serta memegang pisang. Dan, Elid merasa ia mirip...
"SEEEETAAAN!" jerit Elid ketakutan sambil memeluk Junex kuat-kuat. Keterkejutan cowok itu membuat mereka berdua jatuh ke bawah. Pendaratan yang tidak diinginkan.
"Aduh, pantatku," keluh Junex.
Belum sempat bangkit benar, Junex dan Elid–serta orang asing di atas tembok–dikejutkan kehadiran Pak Joe. Ia berdiri tegak dan mengacak pinggang. Mengentak-entakkan sepatunya.
"Mau lari ke mana lagi, Anak-anak," kata Joe sambil menggeram. Gemas sekali ia melihat kedua anak ini. Kemudian ia melihat siswa di atas tembok itu. "Mondi, sedang apa kamu di atas itu. Turun!" perintahnya dengan marah.
Joe pun menebar pandangannya kepada mereka, memastikan ketiga anak itu menyimak perkataannya. "Nah, untuk membuat kalian jera, sekaligus membuat kalian sadar bahwa terlambat itu tidaklah penting, kalian akan menjalani hukuman," kata Joe sambil mengelilingi mereka. "Tapi, aku melihat keganjilan di sini. Apakah 'aksi protes' dengan terlambat itu masih berlaku?" kata Joe, lebih kepada Junex dan Elid.
"Bapak nggak perlu ragu. Kami akan terus telat, kecuali pada saat-saat yang penting, seperti ulangan," sahut Junex mantap. Elid mengangguk, setuju.
"Oh, ternyata kalian juga peduli dengan masa depan kalian," kata Joe mengangguk. "Ya sudah, sekarang ikuti aku," perintahnya, namun sejenak ia bingung karena ketiga anak itu tidak mau bergerak.
"Kami, Pak?" kata ketiga anak itu meyakinkan sambil menunjuk diri masing-masing.
"Nggak, nenek-nenek yang ditabrak tukang becak di ujung persimpangan sana. Ya, kalian lah. Siapa lagi manusia di sini," cecar Joe dengan kemarahan yang total.
Elid langsung cengengesan sendiri. Memang ia merasa lucu sekali kalau Joe selalu mengumpamakan tentang nenek-nenek.
"Siapa suruh ketawa?" hardik Joe. Seketika Elid itu langsung membekap mulutnya untuk menahan tawa, lalu mengeleng-geleng. Junex dan Mondi tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream*
Genç KurguMenjadi transformasi paling berbeda di keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Junex. Ayahnya, Antonio adalah polisi. Ibunya, Cecilia adalah polwan. Kakaknya, Tommi adalah polisi muda. Adiknya, Ria, bercita-cita menjadi polwan, serta adik bungsunya, D...