Besok harinya, sewaktu istirahat ke dua, Junex, Elid dan Lea duduk di kursi panjang cafeteria. Mereka memilih di pojok. Mereka pikir bisa menjauh dari hingar suara yang ribut, meski tidak sepenuhnya benar, tempat itu semakin ricuh, tetap saja terasa mengganggu.
Siang itu kesibukan di cafeteria nampak tidak biasa. Padat. Dipenuhi siswa-siswi yang datang silih berganti. Sebagian besar memilih duduk di kursi sambil menikmati santapan masing-masing. Sebagian berdiri di sela-sela ruangan dan menunggu antrian. Tidak sedikit pula yang malah kejar-kejaran. Untungnya cafeteria itu cukup luas. Cukup menghimpun semaknya arus manusia di dalamnya.
Salah satu letak keunggulan Sayon dibandingkan SMA lain, yaitu cafeterianya. Ruangannya besar, bersih dan apik. Di dalam ruangan yang luas, terdapat puluhan bangku untuk siswa. Susunannya teratur dengan empat baris di sebelah kiri, dan empat baris di sebelah kanan. Masing-masing memiliki lima banjar yang disusun dengan rapat. Di tengah-tengah, terdapat bangku dan meja yang melingkar, yang merupakan tempat yang sering ditempati Jack Rose.
"Apa kalian benar-benar berniat masuk kelas Jack Rose tahun depan?" kata Lea tiba-tiba. Ia melihat kedua temannya seperti orang yang tidak ada harapan hidup setelah keluar dari kelas. "Kita masih baru saja mulai."
Elid mengetok-ngetok kepalanya. "Guru matematikanya benar-benar gila. Bukankah ini hari pertama bertemu? Masa kita langsung belajar? Apa ia benar-benar guru?" keluhnya tidak terima.
Junex menggeleng. Setelah menyuap sesendok mie ke mulutnya dan mengunyahnya, ia berkata, "Aku tidak akan sanggup seperti ini. Jika langsung belajar seperti itu, hanya dalam seminggu, aku bisa mati kanker otak."
"Seharusnya guru itu menyapa kita dulu, mungkin basa-basi dan sebagainya atau say hello dan lainnya, tapi malah mengajarkan Aljabar pada kita. Benar-benar guru gila," keluh Lea yang tidak kalah kesal. "Siapa nama guru yang dungu itu?"
"Joe. Joe Randa. Aku dengar ia guru killer di sini," sahut Elid.
Junex tersentak seperti menyadari sesuatu. "Apa kalian merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Jack Rose?"
Lea menggeleng. "Apa yang beda?"
"Aku merasa kalau Jack Rose..." kata Junex dengan sedikit tidak yakin. "Maksudku. Yah, mungkin hanya perasaanku, semua anggotanya adalah orang-orang yang jahat. Aku rasa itu hanya perasaanku saja."
Elid mengangguk. "Aku rasa juga seperti itu. Masa siswa yang terpelajar, pintar dan berprestasi berani mem-bully siswa lain."
"Aku juga kurang terima jika mereka mengusir kelas regular saat mereka menggunakan lapangan basket. Aku merasa itu sedikit... tidak adil," sambung Lea.
Junex mengangguk. "Sepertinya ada perbedaan yang mencolok di SMA ini. Jack Rose sangat diperlakukan istimewa, tapi regular sama sekali tidak diperhatikan. Ada yang salah dengan sekolah ini," katanya dengan tatapan membayang.
Kerumunan yang begitu sibuk dan padat seketika membelah tepat ketika Junex menyedot ice-blanded rasa stroberinya. Memberi ruang untuk sederetan siswa yang nampak populer di antara yang lain, Jack Rose dengan blazer dan bros mawarnya. Mereka berjalan dengan ekspresi angkuh dan menuju ke tengah cafeteria. Di barisan terdepan, sang Keanu hadir dengan tubuhnya yang tegap.
"Wah, itu mereka. Bahkan di sini pun, mereka tampak berbeda sekali," seru Junex.
"Wah, Keanu ternyata tampan banget jika dilihat lebih dekat," seru Lea meringis bahagia.
Kelompok Jack Rose menuju meja bundar di tengah-tengah cafeteria, tempat biasa mereka magang saat istirahat, namun ada beberapa cowok kelas bukan Jack Rose yang ternyata hinggap di situ.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream*
TienerfictieMenjadi transformasi paling berbeda di keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Junex. Ayahnya, Antonio adalah polisi. Ibunya, Cecilia adalah polwan. Kakaknya, Tommi adalah polisi muda. Adiknya, Ria, bercita-cita menjadi polwan, serta adik bungsunya, D...