"Kamu tahu apa artinya semua ini?"
Junex menunduk di depan kedua orang tuanya. Lagi-lagi ia merasa berada di persidangan. Tapi, entah mengapa ini jauh lebih buruk. Ia tidak pernah melihat orang tuanya semarah itu begitu mendengar berita dari pihak sekolah.
"Junex, kamu tahu apa artinya semua yang terjadi ini?" Antonio menekankan sambil memukul meja.
Junex mendesah pelan. "Aku akan sekolah di akademi kepolisian. Aku tidak akan sekolah lagi di Sayon," sahutnya dengan lesu. Lalu ia berusaha membela diri dengan berkata, "Tapi, aku bisa berubah kok, Ma, Pa. Aku nggak akan berbuat masalah lagi." Begitu melihat ekspresi kedua orang tuanya yang sangat masam, ia menjadi diam. Ia sadar ia hampir selalu mengatakan itu apabila mencoba membela diri.
"Ok. Keputusan Papa sudah bulat. Kamu... mulai besok, akan Papa pindahkan ke akademi kepolisian," kata Antonio dengan tegas.
"Tapi..."
"Jangan beralasan lagi, Junex," seru Cecilia sambil memukul meja dengan kuat. "Kamu telah banyak menyisakan masalah. Kamu sudah berulang kali bilang kamu akan membuat segalanya baik-baik saja. Tapi, mana? Kamu malah mempermalukan keluarga."
Junex merasa benar-benar tidak tertolong lagi. Ia mendesah pasrah saat kedua orang tuanya hendak pergi. "Tapi, bolehkah aku minta tolong sekali ini saja," kata Junex dengan pelan, membuat kedua orang tuanya kembali duduk dan menekurinya.
Junex menatap kedua orang tuanya satu per satu dengan serius. Ia bangkit dari kursi, lalu mundur sedikit. Ia menunduk di depan kedua orang tuanya. Antonio dan Cecilia terkejut melihat sikap Junex.
"Aku mohon beri aku kesempatan untuk sekolah di Sayon," katanya dan langsung mendongak. "Izinkan aku sekolah di situ sampai Olimpiade Pendidikan Nasional selesai."
Kedua orangtuanya saling menatap satu sama lain.
☆☆☆
Sore itu Daydream hadir di ruang tamu keluarga Junex. Seperti yang sudah dijadwalkan begitu pulang sekolah, mereka akan berkumpul di rumah Junex. Ini sebenarnya kegiatan belajar bersama, atau lebih tepatnya misi membimbing Junex dalam mengikuti Olimpiade Pendidikan.
"Aku tidak menyangka tanganku sampai terluka memukul Keanu," kata Junex sambil mengamati seksama siku jarinya yang dibalut kain kasa.
Lea menjawil telinga cowok itu kuat. "Jangan berusaha mengalihkan perhatian. Sekarang kerjakan soal matematika yang aku buat ini," katanya setelah melepas telinga cowok itu, lalu menghentamkan buku latihan di depan Junex. Untuk saat ini, cewek itu terasa seperti guru killer di sekolah.
Junex mengeluh sendiri. "Soalnya juga sulit sekali. Aku daritadi nggak bisa mengerjakannya," katanya dengan gerakan malas.
Sekali lagi Lea menjewer telinga cowok itu. Ini malah lebih kuat. "Jadi kamu kira soal olimpiade itu gampang? Jadi kamu kira soalnya seperti ini "di mana rumah Budi?', lalu jawabannya "rumah Budi berada di Berastagi' begitu? Kamu kira soal Olimpiade soal anak SD?" katanya dengan gemas, lalu menjitak kepala cowok itu. Ralat, untuk saat ini, Lea terasa seperti ibu tiri dalam kisah Cinderella.
Sacquin, Elid dan Tobi hanya bisa menatap mereka seperti seorang ibu yang sedang mengajari anaknya yang begitu bodoh dalam belajar.
"Ngomong-ngomong, Mondi kok tidak ikut akhir-akhir ini?" kata Elid memulai pembicaraan. Ia bertanya lebih kepada Tobi dan Sacquin.
"Mungkin ibunya masih sakit," kata Sacquin, "Ia sempat bilang ibunya masih koma di rumah sakit. Aku rasa itu alasannya tidak hadir hari ini."
Sacquin seperti memikirkan sesuatu. "Kenapa kita tidak datang menjenguk ibunya sekarang? Aku yakin Mondi pasti akan terhibur dengan kedatangan kita?" katanya dengan penuh semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream*
Teen FictionMenjadi transformasi paling berbeda di keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Junex. Ayahnya, Antonio adalah polisi. Ibunya, Cecilia adalah polwan. Kakaknya, Tommi adalah polisi muda. Adiknya, Ria, bercita-cita menjadi polwan, serta adik bungsunya, D...