Tahun ajaran baru sudah tiba di depan mata. Semua siswa begitu antusias. Mengapa semangat justru terasa membara di awalnya saja, kemudian semangat itu perlahan-lahan akan menipis digerogoti waktu? Apakah benar tidak ada semangat abadi di dunia ini?
"MAU KALIAN INI APA SIH!?" suara Joe menggelegar begitu mendapati enam siswa yang terlambat, padahal ini masih hari pertama sekolah. Keenam siswa itu datang tepat ketika upacara bendera selesai. Kepalanya benar-benar ingin pecah melihat keenam "setan kecil" itu malah berekspresi tidak berdosa. Oh, Tuhanku!
"Hi, Pak Bro, aku telat lagi nih," sapa Junex dengan ramah kepada Joe sambil mengacungkan tangan.
Plok! Joe langsung memukul kepala Junex dengan buku tebal. "Nenek-nenek yang sudah cedera digigit anjing juga tahu kalau kamu sekarang ini terlambat," sahutnya dengan urat kepala muncul. Elid pun sudah cengengesan di antara mereka.
"Kalian juga kenapa ikut-ikutan dengan mereka bertiga," kata Joe yang masih tidak percaya sambil menunjuk satu per satu, yaitu Junex, Elid dan Lea. Ia berbicara kepada Tobi, Sacquin dan Mondi.
"Kami kan teman sejawat, Pak," kata Mondi.
"Tampaknya mereka lebih asyik dibandingkan Jack Rose, Pak," sahut Tobi dingin.
"Mereka menyelamatkanku, Pak," kata Sacquin dengan pelan.
Joe stres. Oh, tidak! Makin bertambah lah pemberontak pagi hari di Sayon ini. Awalnya Joe hanya menghadapi Junex, Elid dan Lea, dan dengan ketiga siswa itu saja, ia merasa sangat kuwalahan. Apalagi ditambah kehadiran Tobi, Mondi dan Sacquin, ini sama artinya menambah beban hidupnya atau mungkin tepatnya cobaan hidup yang berat untuknya. Tidak lama lagi ia akan mati sekarat.
"Dan kami sekarang sedang promosi, Pak. Kami semua berkumpul dalam satu kelompok untuk melawan Jack Rose, yaitu Daydream," kata Junex membahana. Ia senyum sumringah sementara Joe sudah merasa tidak enakan.
"Ya, sudahlah, terserah kalian. Aku sudah pusing. Sekarang ikut aku, kalian harus menjalani hukuman," kata Joe dengan nada pasrah. Sekilas ia melihat setiap wajah keenam orang itu. Seperti tidak ada sedikit pun penyesalan tersirat di sana. Mereka malah sumringah dan seakan-akan menikmati keadaan. Semua itu justru membuat kepala Joe semakin buyar. "Ya, sudah, sekarang ikuti aku," katanya saat melangkah.
"Pak, kasih selamat buat kami dong," goda Junex sambil berjalan di samping Joe. Ia sengaja meninggalkan yang lainnya berjalan di belakang.
"Ya, ya. Selamat," jawab Joe cepat-cepat dan tepat saat menjawab itu ia selesai menuntun keenam siswa itu ke tengah lapangan upacara. Ia tertegun melihat wajah keenam anak itu yang masih nampak semangat. Tidak ada sedikit pun sebuah kemelut yang nampak dari mereka. Sebenarnya hati mereka terbuat dari apa, padahal mereka menjalani hukuman sekarang, pikir Joe sendiri.
"Kalian siap akan hukuman?" kata Joe meyakinkan dengan tatapan lesu. ia saja sudah merasa bosan memberi hukuman untuk orang terlambat terus-menerus. Semuanya seakan percuma saja. Mereka–yang dihukum–malah nampak menikmati hukuman itu sendiri.
"KAMI SIAP!" seru keenam siswa itu serentak dengan tegas. Joe sempat tersentak mendengarnya.
"Ba, baiklah, kalau begitu, kalian berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh kali," kata Joe sampai gelagapan.
Keenam anak itu berkumpul membentuk lingkaran seperti pemain bola yang merencanakan strategi pertandingan. Mereka sama-sama mengumpulkan tangan lalu serentak bersorak, "GO, DAYDREAM!" Setelah itu, mereka langsung menjalankan hukuman dengan semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream*
Teen FictionMenjadi transformasi paling berbeda di keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Junex. Ayahnya, Antonio adalah polisi. Ibunya, Cecilia adalah polwan. Kakaknya, Tommi adalah polisi muda. Adiknya, Ria, bercita-cita menjadi polwan, serta adik bungsunya, D...