Setelah bertanya-tanya kepada resepsionis, Elid menghembuskan napas dengan gelisah. Ia melirik jam tangan. Ternyata selama itu Junex belum menampakkan batang hidungnya sekalipun. Itu berhasil membuatnya semakin gelisah. "Ke mana sih anak itu? Mau berapa lama lagi ia bersama ibu-ibu itu?" katanya sendiri dengan kesal. Ia baru saja melihat Keanu tengah lari tergopoh –gopoh ke gedung kecil, dan hal itu juga membuatnya semakin takut. Semenjak kejadian wanita yang bunuh diri itu, arus semak manusia begitu menggenang di rumah sakit. Ia dan yang lainnya sampai-sampai kehilangan Junex dan tidak tahu di mana. Di samping kegelisahannya, ia juga dikerubuti kebingungan begitu mendengar bahwa pasien di kamar 234 sudah dipindah ke gedung kecil—kelas ekonomis—menjadi di kamar 237.
"Bagaimana kalau kita mencarinya, sekaligus mencari kamar Ibu Mondi," saran Lea dan kenyatannya langsung diterima bersih oleh ketiga sahabatnya. Mereka langsung bergegas menaiki lift.
☆☆☆
Junex memandang sekelilingnya. Ibukota ini masih menunjukkan semaraknya siang menjelang sore itu. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba mencakar langit seluruh kota, membuktikan kepada semua orang siapa yang paling hebat dan lebih baik. Meskipun sudah sering melintasi Kabanjahe, ia merasa asing dengan pemandangan di depannya. Ia berdiri di tepi lantai atas, gedung kecil itu, tepat di tempat saat Ibu Keanu ingin mencoba bunuh diri. Ia bisa merasakan bagaimana rasanya berada di posisi wanita itu saat hendak bunuh diri. Tapi, ia tidak bisa membayangkan apa yang dipikirkannya. Kenapa ia bunuh diri? Apa alasannya?
Junex begumam saat bersamaan Keanu juga melakukan itu. Mereka saling melihat, lalu saling diam dengan mata terpaku terhadap lawan bicara.
Junex mengamati benar wajah yang ada di depannya. Wajah ketua Jack Rose itu tidak sedingin yang semula. Wajahnya lesu dan sedih. Wajah yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Wajah yang tidak seharusnya ada pada seorang bandit.
Junex hendak mengatakan sesuatu saat bersamaan Keanu juga ingin berbicara. "Kamu dulu..." kata Junex akhirnya mengalah.
"Tidak usah. Kamu dulu..."
"Baiklah, A..."
"Aku saja," potong Keanu gugup.
Keanu diam dan langsung merenung. Ia berputar membelakangi Junex. Kepalanya menengadah dan matanya mulai melihat langit. Ia menarik napas secara berlebihan. Seperti kebiasaannya kedua tangannya dibiarkan menyerusuk ke dalam saku celana.
"Terima kasih," kata Keanu dengan singkat.
Mendengar itu Junex langsung terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Memastikan apa yang ia dengar hanyalah bisikan atau mungkin ia salah mendengar. Tidak... Keanu memang benar-benar mengucapkannya..
Keanu nampaknya tidak ingin memperlihatkan reaksinya saat mengatakan itu. Kepalanya tidak bergeser sedikit pun. Ia masih tetap mendongak seakan di langit sore itu tersirat sesuatu yang dipikirkannya.
"Seharusnya aku harus mengatakan itu sejak dulu," katanya lagi dengan tatapan membayang.
Junex masih menatap cowok itu dengan seksama, mencoba menebak apa yang dipikirkannya, tapi sejauh ini, ia tidak menemukan apa-apa. Ia hanya mengetahui sebuah perubahan besar terjadi di tempat ini sekarang. Musuh yang dibencinya selama ini kini menjadi sosok baru, atau mungkin sebenarnya bukan musuh. Setelah itu, ia memutuskan melakukan hal yang sama dengan Keanu. Ia mendongak dan melihat langit sore itu dengan arah yang berlawanan.
"Aku sebenarnya iri kepadamu," kata Keanu, membuat cowok di sampingnya itu menoleh kepadanya. "Meskipun semua orang sempat menghindari semenjak melawan Jack Rose, entah mengapa kamu bisa mendapatkan sahabat seperti yang kamu inginkan. Kamu nampak bahagia bersama mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream*
Teen FictionMenjadi transformasi paling berbeda di keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Junex. Ayahnya, Antonio adalah polisi. Ibunya, Cecilia adalah polwan. Kakaknya, Tommi adalah polisi muda. Adiknya, Ria, bercita-cita menjadi polwan, serta adik bungsunya, D...