Hari ini adalah ulangan akhir semester. Jalan terakhir yang harus ditempuh oleh siswa. Pada saat ini lah penentuan terakhir siswa dalam melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Pada pertengahan ulangan, otak Junex mentok dan buntu, tidak bisa berpikir atau mengarang-ngarang jawaban lagi. Bagaimana bisa mengarang jawaban ini? Ini soal matematika. Junex hanya bisa mencoret-coret soal ulangan. Ia hanya bisa mengubah angka 2 menjadi bentuk angsa, selebihnya ia mencoret-coret tidak jelas. Kemudian ia memaksa untuk berpikir tapi apa daya isinya kosong total. Kepala semakin pusing setelah melihat x+y=z. Bagaimana bisa itu terjadi? Setahuku, yang benar 1+1=2, Bodoh! Soal ini menjengkelkan, gerutu Junex dalam hati. Refleks, Junex menumbuk-numbuk meja saking gemasnya.
"Junex, jangan riibuuut!" Joe nyerocos saat melihat Junex uring-uringan dan tidak tenang. "Kerjain sendiri!"
"Ini juga lagi ngerjain sendiri, Bodoh," kata Junex pelan dengan gigi yang rapat.
"Apa kamu bilang?" Joe dengan tatapan curiga.
"Oh, aku tahu," kata Junex tiba-tiba dengan hebohnya, berpura-pura antusias menulis untuk mengalihkan perhatian Joe.
Joe mendesah pelan. Mungkin perasaanku saja kalau anak itu tadi menyebutku "bodoh", pikirnya. Memang ia mendengarnya samar-samar. Sepertinya aku harus ke dokter THT besok, kata Joe dalam hati. Ia manggut-manggut sendiri.
Junex menengok ke kiri. Dilihatnya Elid sedang asyik menyontek jawaban soal dari buku. Inilah kejamnya masa penjajahan Joe. Sewaktu ulangan ia pasti mengacak-acak posisi duduk saat ulangan. Jadi Junex agak kesulitan bekerja sama dengan Elid, sebab masalah menyontek, Elid sangat handal. Sekarang posisi duduk Elid berseberangan dengan Junex. Bagaimana kalau aku panggil saja?
"Sssst... Elid," desis Junex dengan pelan.
"Junex, jangan ribut," Joe menyela usaha Junex dalam memanggil Elid.
"Peka banget sih telinga guru bodoh ini!" kutuk Junex pelan.
"Junex, apa kamu tadi ngomong sesuatu?"
"Nggak, Pak," sahut Junex ringan.
Joe melipat tangan dan tangan kanannya mengelus-elus janggut halus yang rimbun di dagunya. Ini tandanya ia berpikir keras. Wah, sepertinya memang ada yang salah dengan telingaku, pikir Joe.
Kini Junex menatap Elid dengan iri. Nampaknya Elid begitu menikmati contekannya tanpa ketahuan Joe dalam mengawasi ulangan. Tetapi tiba-tiba Junex punya ide. Ia meraih kertas dan menulis sesuatu, kemudian kertas tersebut direcek seperti sampah, lalu dilempar ke meja Elid. Dan, tepat mengenai sasaran.
Elid semula bingung saat mendapati kertas tersebut. Tetapi setelah melihat Junex main mata dengannya, ia pun memahami maksud dari cowok tersebut. Junex pasti ingin jawaban ujian ditulis di kertas yang ia berikan, lalu dilempar kembali padanya.
Mata jelalatan Joe mengarungi seluruh murid. Guru itu seperti melakukan sensor kepada seluruh siswa dengan tatapan lasernya. Namun pria itu lebih cenderung mendelik kepada Junex. Daritadi tingkah anak ini begitu mencurigakan.
Melihat tatapan tajam lelaki itu, Junex berpura-pura berpikir keras sambil memandangi langit-langit kelas seolah membantu apa yang ia pikirkan. Pada kenyatannya ia hanya ingin mengalihkan perhatian guru killer itu. Berhasil, kini Joe mencoba mencurigai orang lain dibanding dirinya.
Setelah Elid menuliskan jawaban di kertas, lalu diremes lagi bagaikan sampah, ia bersiap-siap mencari waktu yang tepat untuk melemparnya kepada Junex. Seseorang memanggil Joe dan lelaki itu pun menuju ke luar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream*
Teen FictionMenjadi transformasi paling berbeda di keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Junex. Ayahnya, Antonio adalah polisi. Ibunya, Cecilia adalah polwan. Kakaknya, Tommi adalah polisi muda. Adiknya, Ria, bercita-cita menjadi polwan, serta adik bungsunya, D...