Chapter 01 : Serangan Seribu Beker

134 11 33
                                    

Cowok bertubuh mungil itu menyerusuk ke dalam selimut dan membulat seperti kepompong. Meskipun suara menggelegar ditambah kedoran super dahsyat itu cukup sulit diabaikan, ia masih saja terlelap dengan tenangnya. Yang mengedor berangsur kesal dan malah mengumpat. Seperti biasa cowok yang mendekap di kamar itu selalu membuatnya emosi setiap pagi. Membangunkan yang namanya Junex Michael di pagi hari sama artinya memindahkan gunung. Susahnya minta ampun.

"Kak Junex, sudah hampir jam delapan! Nanti telat ke sekolah, lho!" seru adiknya, Ria dengan penekanan pada kata "Kak". Ia mengedor-gedor pintu dengan tidak sabaran. Namun, belum ada sahutan.

"Junex, sialaaan!" pekiknya tidak tahan, bahkan kakinya sudah mengambil andil. Ia menendang-nendang pintu. Tidak masalah seandainya pintu ini runtuh. Asal orang yang di dalam segera bangun.

"Nggak usah marah-marah. Bangunin Junex nggak akan bisa seperti itu. Ia cuma bisa dibangunkan dengan cara seperti ini." Tommi, seorang lelaki dewasa memakai seragam Sabhara naik tangga, lalu menghampiri adiknya.

Ria melirik kakak tertuanya sambil melengos. Ia menjadi bingung. Bagaimana mereka bisa tahan memiliki saudara bengal dan tidak bisa diatur seperti Junex. Ria melipat tangannya dengan meleguh bosan.

"Kok bisa sih kita hidup bareng alien seperti ia, Kak," keluhnya lesu.

Tommi melirik jam tangannya. "Sst, jangan ribut. Serangan Seribu Beker akan segera dimulai," katanya dengan mata berbinar-binar.

Ria menatap kakaknya itu dengan melongok. Kakaknya yang satu ini justru lebih aneh.

Kriiink... Kriink... Kriink...

Cowok berusia lima belas tahun itu tiba-tiba saja tersentak dan sadar. Suara beker yang luar biasa kuat mencuat ke telinganya. Matanya masih nanar dan berat untuk melihat yang terjadi. Jendela kaca terbuka dengan lebar, membiarkan seberkas cahaya lolos masuk, menyilaukan matanya. Ia mengerang kesal. Saat itu juga ia mengutuk pagi yang terasa kacau ini.

Ia kembali menutup kepalanya dengan selimut. Tapi percuma. Beker itu masih terus berteriak dengan semangatnya. Sehebat apa pun ia bersembunyi di balik selimut, bahkan menjadi kepompong utuh sekalipun, takkan menghentikan suara berisik itu. Sebenarnya ia tidak ingin mempedulikannya, tapi benda sialan itu terus saja menjerit-jerit, mengganggu ketenangannya. Sialan!

Akhirnya cowok itu menyerah. Ia bangkit dan saking kesalnya ia mengacak-acak rambutnya sendiri dengan ganas sebelum menjerit histeris seperti orang gila.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia memperhatikan kamarnya. Jendela kamarnya tidak ditutup semalaman. Playstation masih tetap aktif. Buku-buku, pakaian, celana dalam dan bungkusan makanan saling bertarung dan bertebaran di mana-mana.

Junex menjulurkan tangannya menuju meja lampu di samping kasur. Begitu tangannya menyentuh beker yang masih berdering itu, ia mendengus dan tersenyum sinis. Kemudian dengan kuat, ia melempar keluar beker itu dari jendela. Terdengar suara erangan kesakitan dan kutukan kuat dari bawah sana.

Junex mendengus sinis. "Rasakan bedanya, Bodoh!" sahutnya kepada dirinya sendiri, lalu kembali berbaring. Ia tidur menyamping sambil mendekap gulingnya, meskipun dalam kondisi "mengenaskan"-guling berwarna putih yang bolong-bolong, hingga mengeluarkan kapasnya. Sesekali digeseknya kepalanya berulang-ulang menikmati ketenangan. Sekarang tidak akan ada lagi yang mengganggu tidurnya pagi ini.

Kriiink... Kriink... Kriink...

Sialan! Apa lagi ini?? Junex bangkit sambil mengumpat. Kepala cowok itu benar-benar panas saat mendengar suara beker yang lebih keras.

Kriiink... Kriink... Kriink...

Kriiink... Kriink... Kriink...

Ya, ampun. Suara bekernya lebih dari satu. Suaranya juga lebih keras. Aku benar-benar bisa gila, pikir Junex. Ia bangkit dan mencari-cari suara beker itu. Dari sumber suaranya, letak benda itu tidak begitu jauh darinya. Ia langsung cek ke kolong tempat tidurnya.

Daydream*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang