Gilang yang merasa terpanggil kemudian menoleh, mendapati anak perempuan yang rambut nya tergerai berantakan berdiri tidak jauh dari tempat duduk nya. Gilang kembali menghadap ke depan.
Kenapa dia lagi? Tanya nya dalam hati. Sesuai apa yang di prediksikan Gilang, perempuan teman kelas nya sejak setahun yang lalu itu kemudian mengambil alih kursi di hadapan nya.
Mata Grafisa jatuh pada wajah Gilang yang terlihat tidak seperti biasa nya. Wajah laki-laki itu sekarang memang datar--seperti biasa, tapi entah kenapa ada raut yang tidak bisa di mengerti oleh Grafisa pada wajah laki-laki itu.
Gilang mendesah pelan ketika menangkap Grafisa yang memperhatikan nya secara terang-terangan. Walaupun jarang ber-interaksi dengan perempuan ini selama hampir dua tahun berada dalam kelas yang sama, Gilang tahu kalau Grafisa mempunyai tingkat ingin tahu yang begitu tinggi terhadap semua hal. Terlebih kepada pelajaran matematika. Gilang selalu mendengar keluhan Grafisa tentang pelajaran tersebut dengan berbicara seperti ini; "buat apa si matematika di pelajarin? Emang guna banget buat hidup gue? Buat apa aljabar ada? Buat apa gue belajar trigonometri?" Bukan kah itu termasuk rasa ingin tahu juga?
"Lo... sakit kanker ya Lang?" Gilang yang sedang meminum kopi nya tiba-tiba tersedak dan hampir menyemburkan isi nya ke wajah Grafisa. Sebelum membiarkan Gilang menjawab pertanyaan nya, Grafisa kembalo berbicara. "Jangan-jangan lo sama kayak di film-film gitu nih, lo di sekolah dingin dan ga kesentuh itu karena lo gamau ada orang yang tau kalo lo punya kanker?!"
Lagi, Gilang tercekat mendengar nya. Seperti nya perempuan ini terlalu sering baper nonton film yang pasti ber-genre romance itu. "Udah lah, santai aja sama gue Lang. Rahasia lo aman sama gue, oiya gue mau tanya, umur lo kesisa berapa bulan lagi?"
Tidak menjawab. Laki-laki itu memilih menatap tajam mata Grafisa, membuat perempuan itu memukul mulut nya sendiri karena sering kelewat bicara. Sumpah demi neptunus, tatapan Gilang sungguh menyeramkan.
Gilang bisa benafas lega ketika Grafisa berhenti bicara. Beberapa kali sempat bertengkar dengan perempuan ini, Gilang akhirnya tahu kalau kelemahan Grafisa terletak pada mata. "Lo ngapain disini?"
Grafisa mendongak, merasa Gilang sedang mengajak nya bicara. Tapi hal itu kembali di tepis ketika melihat Gilang yang kembali larut dalam kopi hitam nya. "Lo ngomong sama gue?"
"Engga. Gue lagi ngajak ngobrol kudanil di belakang lo." Reflek Grafisa menoleh ke belakang nya, tidak menemukan kudanil yang di maksud Gilang. Beberapa detik ia melamun, dan akhirnya sadar kalau Gilang hanya bercanda.
"Oh, kudanil yang pakai baju merah itu," jawab Grafisa sambil mengangguk-anggukan kepala nya. Ia memang tidak menemukan hewan kudanil, melainkan wanita yang duduk di belakang Grafisa, juga tubuh nya yang kebetulan gempal.
"Lo ngapain disini?" Gilang kembali mengulang pertanyaan nya.
"Zeta asma nya kambuh, jadi harus di rawat," jawab Grafisa, sedangkan Gilang kembali menatap lamat kopi hitam nya, sambil memainkan sedotan kopi tersebut dengan tangan. Tidak mempedulikan Grafisa yang sedang membeli minuman juga.
Grafisa membawa gelas plastik yang sudah di lapisi kardus yang sama seperti milik Gilang. Kedua nya sama-sama tidak mengetahui kalau minuman mereka sama; kopi hitam.
"Lang, mau cari martabak ga? Masa gue laper," ujar Grafisa sambil mengelus-ngelus perut nya. Sebenarnya ia mengatakan ini hanya iseng-iseng berhadiah. Tidak terlalu mengharapkan Gilang akan meng-iyakan ajakan nya.
Gilang kemudian berdiri, membuat Grafisa malah kebingungan. "Lo mau kemana Lang?"
"Lo mau martabak kan?!" Tanya Gilang, setengah berteriak. Grafisa memang selalu saja jadi masalah nya. Setelah itu Grafisa ikut berdiri sambil cengar-cengir sendiri, mengambil posisi di sebelah Gilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...