Gilang langsung mendapatkan beribu pertanyaan setelah sampai ke rumah dengan wajah babak belur. Siapa yang menanyakan hal itu, Papa nya? Tidak mungkin. Itu adalah suara cempreng khas betawi dari wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Tanpa banyak bicara Gilang meminta di baskom dan handuk kecil, soal air panas ia bisa mengambil di dalam kamar mandi. Tidak perlu menunggu seperti harus memasak terlebih dahulu.
Tidak butuh waktu lama bagi Gilang untuk sampai ke kamar nya yang ada di lantai dua. Anak laki-laki itu kemudian duduk di sisi kasur, membuka seragam nya dan melihat luka yang ada. Tentu luka-luka yang ada di balik seragam Gilang tidak di jamah oleh Grafisa tadi.
Perlahan tapi pasti, handuk kecil yang sudah di rendam itu menyentuh permukaan kulit punggung Gilang yang berdarah, ia meringis sejadi-jadi nya ketika handuk itu menyentuh perut nya yang seperti mati rasa akibat puluhan pukulan Naufal tadi.
Samar, Gilang mendengar suara-suara yang saling menyahut dari ruang tamu. Otak nya lama mencerna ssbelum ia tahu siapa orang yang pasti bersama kakak nya itu. Setelah selesai dengan luka nya, ia menaruh baskom di nakas yang ada di kamar nya. Di luar sedang ada teman-teman Ghifari, ia tidak boleh keluar karena memang begitu seharus nya. Walaupun mereka di sekolahkan di sekolah yang sama, tidak ada yang tahu hubungan kedua nya. Hanya Acong dan Grafisa yang kebetulan tahu waktu itu.
Sebenarnya tidak ada yang pernah mendeklarasikan kalau setiap orang di sekolah tidak ada yang boleh mengetahui nya. Tapi karena Gilang tahu diri, ia akhirnya membiarkan rahasia itu terjaga. Toh Ghifari sendiri tidak pernah memberi tahu teman-teman nya yang kebanyakan dari kalangan anak basket tersebut kalau Gilang adalah adik nya. Jadi apa guna nya Gilang melakukan hal seperti itu?
"Itu kamar siapa si, Fhar?" Samar, Gilang mendengar suara tersebut. Suara perempuan yang sangat ia kenali, perempuan yang mampu menjungkir balikan kehidupan nya tanpa ada yang mengetahui.
Tidak ada yang tahu bagaimana pengorbanan besar seorang Gilang Rival Alfaridzi terhadap sosok berjenis perempuan. Tidak ada yang tahu juga bagaimana sulit nya merelakan orang yang kita sayangi, jatuh ke tangan saudara sendiri. Gilang sudah mengalah dengan merelakan perempuan tersebut, tapi mereka semua terlihat buta. Tidak mencoba mencari tahu apa-apa tentang semua yang terjadi dalam hidup Gilang.
Ghifari, Papa nya, semua sama. Tidak ada yang bisa di percaya. "Oh itu kamar tamu doang, Ris."
Gilang tahu kalau ia tidak pernah di anggap dalam keluarga ini.
----
"Ma," panggil Grafisa lembut.
"Mau minta apa kamu?!" Balas Sarah sewot, bila melihat Grafisa yang berpelilaku lembut-lembut seperti ini itu harus di pertanyakan. Antara ia akan meminta sesuatu, atau memberi tahu nilai pelajaran nya yang banyak remedial.
"Woilah biasa aja dong."
Sarah tidak lagi menanggapi ucapan anak nya, melainkan mulai kembali terhanyut kepada layar laptop yang berisi beberapa pekerjaan kantor yang harus ia selesaikan sekarang juga. "Ma." Grafisa kembali merengek, membuat Sarah melepas kacamata nya dan memijat pelipis dengan lelah.
"Apalagi, Nak?"
"Aku mau punya adek," jawab Grafisa cepat.
"Idih, ngurusin satu yang kayak kamu aja ribet. Apalagi dua," ujar Sarah tidak kalah cepat. Grafisa mengerucutkan bibir di buat nya.
Entah kenapa ia sangat mengharapkan sosok adik di dalam hidup nya. Menurut Grafisa, itu lebih menyenangkan. Seperti mempunyai mainan baru ketika adik nya masih bayi, dan akan menjadi teman yang paling setia pada nya sepanjang hidup. Ada yang bisa di suruh, ada yang bisa di jahili. Seru, bukan?
"Ma, aku serius tau," lanjut Grafisa, tangan nya kemudian menurunkan laptop yang ada di paha Sarah dan menggantikan laptop tadi dengan kepala nya. "Aku pengen punya temen buat gibahin Papa."
"Dasar durhaka kamu, setiap hari juga main sama Papa mulu," cibir Sarah sambil memainkan rambut putri kecil nya--oh salah, Grafisa sudah besar sekarang. Jadi panggilan nya putri besar.
"Lucu kali yak kalo adik aku cowok? Ih tapi Mama kenapa ga bikin nya pas umur aku baru dua tahun kek gitu! Biar nanti aku satu sekolah sama dia."
"Mama bukan kucing Sar yang setiap tahun bisa beranak."
"Yaudah deh Ma, gapapa ga beda setahun atau dua tahun gitu. Yang penting aku punya adik!"
Grafisa beranjak bangun dari kasur Sarah, perlahan tapi pasti tubuh nya menghilang dari kamar Sarah setelah sempat mengucapkan kata selamat malam.
***
Semoga suka yaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...