Langit tidak seperti kemarin sore saat jingga menampakan keindahan nya. Saat ini, hanya ada warna hitam gelap yang mewarnai seisi langit. Mungkin Tuhan ingin menyamakan perasaan orang yang berkumpul di rumah ini dengan langit di atas. Sama-sama kelabu.
Ucapan bela sungkawa terdengar begitu kontras ketika teman-teman sekolah Grafisa datang. Tidak terhitung berapa yang datang, termasuk Gilang.
Farabi yang memang sudah ada sejak tadi pagi masih setia berdiri di samping Grafisa, mengelus-elus bahu gadis itu yang lantas membuat Gilang geram dalam hati. Untung saja ia masih punya pikiran, kalau tidak sudah di pastikan ruangan ini akan berubah menjadi arena tinju dadakan.
"Makasih ya," ujar Grafisa parau, walaupun seulas senyum muncul di wajah nya. Hampir sebagian teman-teman nya itu memilih duduk di luar teras rumah, kecuali Dara dan Gilang yang memilih bergabung dengan Farabi.
Kini posisi di gantikan oleh Dara, yang mana membuat Gilang langsung menarik lengan Farabi keluar dari ruang tamu tersebut. Membawa Farabi ke halaman belakang yang jauh dari suara tangisan dan surat yasin.
"Lo tau kan gue pacar nya Ica?" Laki-laki yang mengenakan kemeja hitam itu mengeluarkan suara datar, dengan kedua tangan yang ia masukan ke saku celana. Menambah kesan dingin yang tercipta.
Farabi mengangguk santai, seolah apa yang akan di bicarakan Gilang tadi bukan sesuatu yang serius sekaligus buruk bagi nya. "Terus kenapa?"
"Ya lo mikir aja tolol," balas Gilang ketus. "Gausah pura-pura bego, lo tau apa yang gue maksud."
"Gue sahabat nya," tukas Farabi tidak mau kalah. "Emang salah Ica deket sama cowok lain ketika cowok nya sendiri lagi asik sama mantan nya sendiri?"
"Maksud lo apa?!"
"Jangan kira Ica ga pernah liat lo berduaan sama Erisca di tangga waktu itu!" Seru Farabi marah. "Lo pikir Ica ga nangis disitu? Dan siapa yang ada sama dia? Gue atau elo?!"
Gilang mengatupkan rahang nya kuat, ingin menghajar wajah Farabi yang sedang menyunggingkan senyum miring nya. "Bangsat!" Maki Gilang, sebelum akhirnya berjalan meninggalkan Farabi.
Jtu sebab nya Grafisa meminta putus, dan kenapa selalu ada orang lain yang menggantikan posisi nya saat itu?
Atmosfer kesedihan kembali terasa ketika ia kembali memasuki ruangan ini. Gilang benci suasana seperti ini, Gilang benci ketika ia harus kembali mengingat semua hal yang sudah merenggut kebahagian nya. Apalagi gadis nya yang kini menjadi si sedih.
Gilang benci merasakan kembali bagaimana sakit nya kehilangan. Laki-laki itu lantas mengambil tempat berdiri di samping Grafisa yang masih dalam rangkulan Dara.
"Sabar Ca, omah lo pasti bahagia disana," ujar Dara, walaupun jarang berinteraksi dengan almarhumah omah Grafisa, tapi ia beberapa kali pernah main ke rumah yang hanya diisi oleh dua orang lanjut usia itu.
"Kasian opah Ra... dia dari tadi nyangkal kalo itu omah." Grafisa berucap dengan nada parau yang tidak bisa di sembunyikan, hal itu entah mengapa dapat membuat hati Gilang terasa di himpit sesuatu. Tangan laki-laki itu kemudian menyematkan jari-jari nya di sela jari-jari Grafisa yang terasa hangat--malah panas. "Badan lo panas, belom makan ya?"
"Tau Ca, dari tadi gue bilang lo makan dulu bentar. Batu banget, nanti kalo lo sakit gimana?" Semprot Dara.
Grafisa tidak menjawab apa-apa. Mata nya masih menatap lurus orang yang kini sudah terbaring lemah. Kematian omah nya sangat mengejutkan, tidak ada tanda apa-apa. Kejadian nya sangat singkat, tadi saat baru bangun tidur, opah Grafisa membangunkan istri nya, tapi ia tidak kunjung membuka mata hingga kala di cek detak jantung nya, sudah tidak ada. Kira-kira sejam lagi akan di laksanakan penguburan, jadi Grafisa akan menunda sarapan nya hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...