Dengan penuh keseriusan, Gilang tersenyum menatap wajah gadis di atas nya. Ia memang sedang berlutut, seperti orang-orang di film--menurut nya.
Sementara gadis yang masih mematung itu ikut tersenyum melihat hal ini. Gilang bukan tipe laki-laki yang akan melakukan ini semua, makanya dari tadi ia sedikit tidak percaya. Mungkin saja ini hanya mimpi semata. Tapi makin di lihat, bola mata Gilang mengeluarkan aura yang sangat hangat. Tidak seperti biasa-biasa nya.
"Grafisa, lo mau ga jadi pacar gue?"
"WUAH BANGKE!" Grafisa sontak mengelus-ngelus dada nya, beberapa kali mengatur nafas sebelum turun dari kasur kingsize nya.
Suara nyaring di lantai dasar rumah Grafisa membuat nya tahu kalau sekarang bukan pagi hari lagi. Mungkin jam sebelas atau dua belas siang. "Lebih serem dibanding mimpi jatoh dari gedung." Gumam nya pelan, tapi tetap saja Sarah dapat mendengar karena jarak mereka berdua yang dekat.
"Hah? Kamu abis jatoh dari gedung?"
"Iya, di mimpi." Grafisa kemudian ikut duduk di kursi tinggi yang ada di dapur nya, tepat di samping Sarah yang sedang memotong wortel. "Sini Ma, aku bantuin."
Sarah kemudian memberi satu pisau dan tatakan untuk anak nya memotong, tanpa bicara banyak-banyak. "Emang tadi belum sarapan Ma?"
"Udah, Papa kamu mau nya makan bubur tadi, jadi nya Mama masak nya sekarang." Balas Sarah sambil turun dari kursi dan mencuci brokoli yang ada. "Sarapan kamu jam segini kan?"
"Iya hehehhe."
"ICA, ICA! ICA MANA ICA MANA ICA MANA!" Pintu berwarna cokelat itu kemudian terbuka lebar, menampakan sosok pria yang menggunakan boxer dengan logo orang bermain basket di ujung nya.
Yang merasa terpanggil kemudian membalikan tubuh nya, agar Revan sadar kalau yang di cari-cari sebenarnya sudah ada sejak tadi. "Teriak-teriak mulu, kedengeran sampe rumah pak rt nanti."
"Gausah lebay deh kamu Nak."
"Papa yang lebay!" Sarah menyahut kencang, membuat Revan mau tidak mau harus menutup mulut nya.
"Itu tadi anak nya Oom Ghani line Papa, kata nya mau ajak kamu pergi." Revan berucap sambil menuangkan air dari dispenser dingin ke gelas yang tadi di ambil nya. "Siapa nama nya? Serabi? Derabi?"
"Farabi." Ralat Grafisa cepat, ia tahu kalau sebenarnya Revan ingat betul nama anak Oom Ghani itu, karena selain berteman dengan Grafisa, Farabi juga berteman dengan Revan.
"Yaudah sana buru pergi, biar Papa berduan sama Mama aja."
"Ingin berkata kasar."
---
"Gue yakin banget mereka pasti lagi berantem." Grafisa berkata, sambil menunjuk satu pasangan di luar restoran yang sedang berdebat satu sama lain dengan sendok nya. "Nih pasti cewek nya ngomong gini 'ih kamu mah, orang aku doyan nya telor cicak, malah di ajak nya makan kuda laut."
Farabi lantas tertawa, kemudian ikut mendabing suara laki-laki yang sekarang sedang menatap perempuan nya dengan sebal. "Lo mah gila si setan, kemaren tembok rumah gue ancur juga gara-gara lo cemilin kan?"
"Iya sayang, abisan enak, apalagi sambil di cocol saus tomat. Kayak ada manis-manis nya gitu."
Farabi dan Grafisa menutup mulut nya ketika pasangan itu memilih masuk ke dalam restoran yang sama, yang lebih parah lagi duduk di sebelah mereka. Grafisa jadi ingin tertawa, membayangkan perempuan yang memakai baju sabrina itu benar-benar menyukai telur cicak.
"Sumpah gue ga kuat," bisik Farabi, wajah nya maju mendekat ke arah Grafisa agar tidak ada yang mendengar. Setelah Farabi berkata seperti itu, Grafisa malah tambah geli. Tawa perempuan itu pecah juga dengan sangat spektakuler, hampir semua orang yang ada di restoran pizza ini menatap Grafisa keheranan.
"Gue ngebayangin mereka beneran makan kuda laut."
"HAHAHAHA DASAR ABI GILA!"
"Shuuutttt," Farabi mendekatkan jari telunjuk nya ke mulut nya sendiri. Menyuruh Grafisa agar sedikit diam karena pasangan yang tadi sedang melihat ke arah mereka dan Farabi jadi tidak enak akan hal itu.
Sambil memakan spagetti nya, Grafisa akhirnya berhenti tertawa. Unik nya, walaupun makan di restoran yang menu utama nya pizza adalah Grafisa tidak memilih makanan roti tersebut. Alasan nya karena ia memang tidak menyukai pizza, segala jenis pizza, bahkan roti saja Grafisa tidak suka. "Kok lo sama kayak Gilang si Ca, ga suka roti."
"Oh?" Hanya itu respon yang di berikan oleh Grafisa. Mimpi semalam kembali terngiang di otak nya, saat Gilang bergaya seperti seorang pangeran dan menembak nya. Ada-ada saja.
Farabi mengangguk santai, kemudian menyodorkan satu potong pizza yang berisi extra cheese dan daging asap. "Lo ga kegoda gitu sama pizza ini?"
Grafisa kemudian menyodorkan spagetti yang sudah di lilit oleh garpu ke hadapan Farabi. "Ini baru menggoda."
"Dasar aneh." Gumam Farabi lalu memakan pizza nya. Tujuan nya mengajak Grafisa kesini memang hanya untuk memakan pizza. Se-simpel itu.
"Eh iya Bi, tadi gue mimpiin Gilang masa." Akhirnya Grafisa berucap, ia menghela nafas sebelum melanjutkan kalimat nya. "Dia nembak gue, terus bego nya dia pake baju pangeran-pangeran gitu. Kan gila."
"Lo lagi mikirin dia ga?"
"Dih apa-apaan gue mikirin dia? Ya kaga lah."
Sebelum menjawab pernyataan Grafisa, laki-laki yang sering di panggil Abi itu meminum blue ocean nya hingga tersisa setengah. "Berarti dia yang lagi mikirin lo."
"Hah?"
"Kalo lo mimpiin orang tapi orang itu lagi ga lo pikirin, berarti dia yang lagi mikirin lo. Kata nya si gitu."
***
Gilang Rival Alfaridzi:
Farabi Satria:
Ya gilang nya ganti lagi, dea emang labil bye wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Genç Kurgu[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...