Gilang baru sampai di rumah pada pukul sembilan malam, setelah sempat bermain futsal terlebih dahulu bersama teman-teman nya. Laki-laki yang membawa handuk kecil di tangan nya itu melengang masuk ke rumah, tidak sadar kalau ada pasang mata yang memperhatikan nya dari dalam kamar dengan tatapan tidak bisa di artikan.
"Gilang." Yang di panggil tidak menoleh.
"Please?" Fadli memohon, masih bersandar di depan pintu kamar nya.
"Dengerin papa, Lang."
Papa? Gilang bahkan tidak merasakan kalau ia masih mempunyai seorang Papa. Enam belas tahun hidup nya ia lewatkan tanpa kehadiran sosok Papa yang sesungguhnya.
"Papa akuin dulu papa benci kamu, sangat benci. Papa kirim kamu ke rumah omah, biar papa bisa redamin amarah itu, papa ga ngasingin kamu Lang, apalagi misahin kamu sama Ghifari. Papa cuma gamau Gilang kecil tersakiti karena kemarahan Papa." Entah kemasukan setan darimana, nada bicara Fadli melembut.
Sedangkan Gilang, laki-laki itu berbalik, berhadapan langsung dengan orang yang mempunyai mata yang mirip dengan nya dalam jarak lima meter. Dulu, tidak pernah terbayangkan di benak Gilang kalau semua hal ini qkan terjadi. Kalau boleh disuruh, ia juga tidak mau membenci Papa nya sendiri, apalagi Ghifari.
"Sekarang papa sadar, papa ga boleh tutup mata dengan semua ini. Papa harus ikhlas kalo mama kamu memang sudah di takdirkan meninggal, bukan karena kamu. Maafin papa Lang, maafin papa selalu menyalahkan kamu, tolong maafin."
"Kamu berubah, apa cuma untuk papa dan Ghifari atau semua orang?"
Segampang itu ia mengucapkan kata maaf? Setelah bertahun-tahun melukai jiwa Gilang tanpa ampun. Gilang yang sekarang juga muncul karena ulah pria itu! Gilang yang angkuh, Gilang yang dingin, Gilang yang tak tersentuh, Gilang yang tidak mudah di rayu hanya dengan kata-kata.
"Jawab, nak."
"Pa, asal papa tau kalo dulu hidup aku baik-baik aja sebelum kejadian itu, oke aku terima papa nyalahin aku tapi kenapa harus buang aku ke Surabaya? Dan kenapa setelah aku nyaman tinggal sama omah, papa balikin aku ke Jakarta? Buat apa aku kembali ke rumah ini cuma jadi bahan perbedaan antara aku dan Ghifari? Apa cuma itu guna nya aku disini? Mengingatkan papa kalau papa juga punya anak brengsek selain anak baik-baik?"
"Lang..." hanya itu respon yang bisa di keluarkan mulut Fadli, jantung nya terasa sesak, menyadari kalau Gilang ikut terluka, juga karena kalimat tadi adalah kalimat terpanjang Gilang yang pernah ia berikan.
"Sepuluh tahun kejadian itu, sudah lama sekali. Apakah kita harus tetap begini? Apakah mama bahagia disana?"
"Papa baru mikirin hal itu sekarang? Kemana aja kemarin-kemarin?"
"Maafin papa nak, maafin."
Gilang tertawa miris, lalu membalikan tubuh nya. Lebih baik ia tidur di rumah Acong sekarang.
----
"Lo tuh ga bisa kayak gini terus," Acong berkata pelan sambil mengeluarkan kaset fifa terbaru nya. "Pikirin juga mama lo disana. Sekarang papa lo udah tobat, terus lo gamau gitu kehidupan lo kembali?"
Gilang tidak menjawab, ia menatap lurus ke atas. "Aih kenapa gue ngomong nya kayak motivator-motivator gitu sih?"
Saat layar televisi Acong sudah nyala dan menampilkan fitur pemain bola disana, tapi ia tetap tidak mendapat jawaban kecuali suara Gilang yang berkata "Halo".
Acong menoleh, mendapati teman nya itu ternyata sedang telfonan. "Ica ya?"
Gilang mengangguk. "LANG PAKE DULU BAJU NYA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Подростковая литература[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...