Grafisa berdiri di balik gerbang nya dengan jaket marun yang ia kenakan, dan celana panjang warna abu-abu. Tidak lupa tas berwarna hitam yang ia pegang di tangan kiri nya. Wajah perempuan itu terlihat tidak suka, apalagi ketika Gilang turun dari motor nya.
Gilang menyodorkan tangan nya, sedangkan Grafisa tidak berjinjit dan itu membuat tubuh nya menghilang di balik pagar. "Lo sependek itu ya?" Ejek Gilang, ia tidak perlu berjinjit, bahkan pagar rumah Grafisa yang tinggi nya satu meter lebih enam puluh centi itu hanya sedagu nya.
Mendengar ejekan itu, Grafisa mengambil kursi plastik dari teras nya, kemudian menaiki kursi itu hingga tinggi nya jauh lebih terlihat ketimbang berjinjit tadi.
"Apa susah nya tinggal bukain gerbang dong?" Gumam Gilang pelan.
Entah Grafisa mendengar atau tidak, tapi perempuan itu langsung memberi tas hitam tertinggal yang membawa Gilang kesini. Gilang mengambil, mata nya tetap tidak lepas dengan wajah Grafisa yang terlihat... jengah.
"ICAAA!" Seperti nya itu suara Revan.
"Lo disuruh main catur sama Papa gue," ujar Grafisa akhirnya. "Lo bisa kan main catur?" Sumpah, untung saja Revan masih memberi asupan gizi yang ada di dalam tubuh nya, kalau tidak mungkin Grafisa akan membejek-bejek orang itu. Apa si maksudnya ngajak anak orang main catur malam-malam gini?
Gilang tertawa kecil, sangat kecil untuk pendengaran Grafisa. Jadi perempuan itu tidak mendemgar nya, padahal kalau Grafisa mendengar, entah apa yang akan di lakukan gadis itu kemudian.
----
Waktu menunjukan pukul delapan lebih tiga puluh ketika Revan kalah. Pria itu meringis, sambil menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal. Sejujurnya Revan merasa malu, karir bermain catur nya sejak sepuluh tahun yang lalu harus hancur karena bocah berumur enam belas tahun. Sebenarnya tidak hancur si, ya Revan hanya mendramatisir saja.
Tidak lama setelah itu, ponsel Gilang berdering, laki-laki itu lantas bangun dari kursi nya permisi sebentar untuk mengangakat telfon. "Ca."
"Hah?"
"Itu si Gelang jago juga main nya."
"Gilang, pa." Ralat Grafisa cepat, Revan memang suka sekali mengganti nama orang sembarangan. Menghiraukan omongan Revan, Grafisa membesarkan volume televisi nya. Tidak akan ia melewatkan episode terbaru Upin & Ipin ini.
"Om, Ica nya boleh saya ajak pergi bentar ga? Gapapa om kalo ga boleh juga." Apa?! Grafisa lantas menolehkan kepala nya cepat, memperhatikan Gilang yang sedang berbicara dengan Papa nya.
Sial nya lagi, Revan menjawab dengan suara pelan, sehingga ia tidak bisa mendengar apa-apa, sebelum suara Revan memecah keheningan. "Ca, di ajak pergi sama Gilang."
Grafisa pura-pura terkejut, mulut nya sempurna membentuk O besar--padahal dalam hati ia sedikit senang, tidak menyangka bahwa Gilang akan se-gentle itu izin kepada Revan yang sebenarnya protektif untuk masalah seperti ini. Mulai detik ini ada dua orang yang sudah meluluhkan hati Revan, yang pertama Farabi dan yang kedua Gilang.
Ngomong-ngomong soal Farabi, minggu-minggu ini laki-laki itu di sibukan dengan lomba futsal tingkat kota yang akan di selenggarakan dua minggu lagi. Grafisa jarang sekali melihat Farabi masuk kelas, karena laki-laki itu menghabiskan waktu nya di lapangan sekolah untuk berlatih, berlatih, dan berlatih.
"Eh ni anak malah bengong, buru ganti baju. Gilang nya nungguin nih," tegur Revan.
"Ganti baju?" Ulang Grafisa, melihat celana legging abu-abu dan jaket marun yang ia kenakan saat ini seperti nya sudah sangat pas kecuali kalau Gilang akan membawa nya dinner di salah satu restoran mewah. "Gamau ah, aku gini aja."
----
Grafisa tersenyum ramah, kepada perempuan yang sekarang duduk di hadapan nya, lalu mata nya melotot pada Gilang di sebelah. Kenapa ia harus di tempatkan dalam suasana canggung seperti ini?
"Eh ini yang kemarin aku mintain tolong ya?" Erisca menebak, tidak ingin suasana begitu tegang.
"I---ya ka."
"Gausah panggil ka, Erisca aja."
"Omongin apa yang mau lo omongin." Potong Gilang. Dingin, datar, dan menusuk.
Erisca menelan ludah nya sendiri, sangat asing dengan kepribadian Gilang yang seperti ini. Apalagi sekarang ada perempuan manis yang duduk di samping Gilang, membuat Erisca merasa tidak leluasa. Entah apa hubungan perempuan itu dengan Gilang, Erisca sama sekali tidak tahu.
Merasa kehadiran nya menganggu, Grafisa berinisiatif ingin memesan makan, tapi lengan nya di tahan, membuat Grafisa mau tidak mau harus menurut.
"Gue mau ngomong, berdua." Grafisa tersenyum mendengar penuturan kakak kelas nya itu, ia memang menganggu disini. "Tapi kenapa ada orang lain?"
Jujur saja, Grafisa kesal dengan Erisca. Perempuan itu berkata seolah Grafisa lah yang memaksa ikut kesini, padahal tadi saat ia ingin memesan makan saja Gilang yang menahan. Huh!
"Orang lain? Oiya lupa gue belom kasih tau, Grafisa ini pacar gue dan jelas dia bukan orang lain." Grafisa melotot sejadi-jadi nya kepada Gilang, tapi laki-laki itu malah menggengam tangan nya di atas meja, entah untuk apa.
"Serius?" Tanya Erisca, terlihat ragu dan mungkin sedikit... tersakiti.
Cubitan kecil pada genggaman tangan Grafisa membuat perempuan itu mengangguk, sambil tersenyum kikuk. "I--ya kak, Gilang babu aku---eh maksud nya pacar."
"Buruan ngomong, kebetulan sekarang ada pacar gue biar gajadi salah paham." Perintah Gilang, yang malah membuat Erisca bangun dengan mata berkaca-kaca dan meninggalkan mereka berdua.
Seusai kepergian Erisca, Grafisa langsung melepas genggaman Gilang dan menatap laki-laki itu tajam. "Apa-apaan si, Lang?" Omel nya tidak terima."Jadi lo gunain gue buat jadi pacar lo di depan ka Erisca?!" Entah kenapa, Grafisa malah marah. Ia kesal karena diri nya hanya menjadi pacar bohongan Gilang di depan Erisca tadi. "Kalo mau move on ga gitu cara nya!" Bentak nya lagi.
Gilang yang merasa sedikit bersalah kepada Erisca maupun Grafisa itu mengacak-ngacak rambut nya sendiri. "Ca, please?"
"Engga Lang, menurut gue perasaan itu ga bisa di mainin kayak gini. Lo salah sama ka Erisca karena sebenernya gue bukan pacar lo."
"Ca, dengerin gue. Mulai sekarang lo itu pacar gue, engga cuma di depan Erisca, tapi di depan semua orang."
Perkataan tadi sukses membuat Grafisa melongo di tempat, saraf otak nya mungkin sudah putus sehingga berkhayal Gilang akan mengatakan hal seperti itu.
"Gue tau lo ga suka sama gue, 'kan? Makanya kasih gue kesempatan buat belajar suka sama lo, sekaligus buat lo suka sama gue."
Grafisa tidak menyukai Gilang? Atas dasar apa laki-laki itu berbicara seperti itu? Bukti nya, kalau Grafisa tidak menyukai nya, kenapa ada sesuatu di dalam tubuh nya yang menyuruh anak perempuan itu untuk tersenyum sambil loncat-loncat itu?
Aih, Grafisa si yakin kalau diri nya sudah suka kepada Gilang sebelum laki-laki itu memulai nya.
"Tapi Lang, gue udah suka sama lo."
***
HEHEHEHEHE jadian juga ya akhirnya
Ini Gilang nembak apa maksa si? Gaada romantis-romantis nya sedikit hmzmzmzmz
Aku tau kegajean part ini mencapai 100% tapi semoga terbayar dengan ending part nya ya huehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...