20. Nobody's Home

3K 210 8
                                    

Zeta sudah sering merasa terabaikan, itu fakta nya. Tapi apakah ia harus selalu diam? Melihat orang tua nya yang sibuk berdua, bahkan saat makan malam keluarga.

Seakan-akan kehadiran nya tidak pernah di butuhkan.

"Ma, pa, bentar lagi aku kenaikan sabuk taekwondo," ujar Zeta, berusaha memecahkan keheningan yang terlalu sering ia rasa saat bersama keluarga nya.

"Oh iya? Bagus deh." Hanya itu respon yang di berikan Mama nya, Papa nya bahkan hanya diam tidak peduli.

Hidup selama tujuh belas tahun tidak membuat Zeta mengerti apa itu arti keluarga yang sebenarnya. Karena keluarga nya tidak pernah peduli dengan nya. Orang tua nya pikir, uang bisa membeli segala nya.

Zeta terlahir sangat beruntung--kalau orang awam yang melihat. Bagaimana tidak, kedua orang tua nya sama-sama bekerja, bisnis mereka juga sukses bukan main. Zeta tidak memiliki saudara kandung, jadi semua harta dan bisnis-bisnis orang tua nya akan jatuh begitu saja kepada Zeta. Tapi, Zeta tidak pernah merasa sedikit pun bahagia karena hal tersebut. Zeta tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua yang sesungguh nya. Bukan orang tua yang hanya memenuhi kebutuhan nya--bahkan berlebih dalam hal materi.

Zeta akhirnya tidak membuka suara lagi, membiarkan makan malam keluarga nya berjalan seperti biasa: sepi.

"Ta, uang bulanan nya udah papa transfer ke rekening kamu ya."

"Apa susah nya sih ngasih uang secara langsung?" Tentu perkataan itu tidak keluar dari mulut Zeta, ia hanya berbicara dalam hati.

Entah sampai kapan Zeta akan kuat menahan semua ini.

-----

"Nih gue tanya ya Cong, sembilan kali sembilan berapa?"

"Delapan puluh satu."

"Nah itu! Kenapa tadi lo jawab nya tujuh puluh dua?!"

Acong nyengir tidak jelas sambil meminjam penghapus Nenda yang duduk di depan nya. "Jadi sembilan kali sembilan tujuh puluh dua kan, Lang?"

"Kampret!" Maki Gilang gregetan. Lagi, Acong nyengir dengan jari telunjuk dan tengah yang ia naikan ke udara membentuk huruf 'v'.

"Lang--"

"Nanya lagi sembilan kali sembilan berapa?!" Potong Gilang sewot.

Sedangkan di lain kursi Grafisa sedang dalam alam bawah sadar nya. Sudah menyusun kursi sebanyak tiga untuk tidur, yang sudah pasti harus menggusur tempat Dara terlebih dahulu sehingga perempuan itu memilih duduk lesehan di sudut ruangan.

"I'VE BEEN STANDING AT THE EDGE OF THE WATER." Dara lantas memukul wajah Andri--laki-laki yang barusan datang menghampiri nya sambil menyanyikan lagu How Far I'll Go itu.

"Ngapain lo disini?" Tanya Dara, dengan nada yang tidak santai itu.

"Wailah sans ae Ra, gue cuma mau nanya lo udah tugas ekonomi itu ga?" Dara menggeleng, tahu betul kelakuan Andri, laki-laki yang paling sering mengganggu nya, tapi laki-laki yang selalu saja menyontek kepada Dara. Seakan tidak sadar kalau ia sudah berbuat banyak dosa kepada Dara.

Kelas Dara kali ini memang tidak sedang ada guru, lebih tepat nya Bu Eka tidak bisa masuk kelas karena ada urusan sekolah--entah itu apa, jadi ia harus meninggalkan kelas dan sebagai ganti nya memberi tugas. Hal yang sangat di sukai Grafisa, karena ia bisa tidur selama empat jam pelajaran tersebut.

NuncaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang