11. mengejutkan

277 5 0
                                    

"Fabian?" Tanyaku tercekat. Ketidak percayaan Fitri dan aku membuat beberapa teman sekelas yang lain jadi agak bertanya-tanya. Beberapa cewek di pojok kelas bahkan membicarakanku diam-diam—tapi, mereka tidak sukses mengecilkan suara mereka, jadi aku tahu.

“Masa sih? Kok gue gak pernah liat elo ngobrol sama dia sih?” Tanya Fitri sangsi. Aku ,enggeleng-geleng.

“Apa gue tanya Karel aja? Emm.. atau sama Ucup?” Tanyaku ragu.

“Jangan deh.. bahaya!” Ucap Fitri. Mukanya yang putih bersih terlihat pucat pasi. “Buka surat yang kedua deh..” usulnya. Ia mengacungkan surat ungu. Aku hanya mengangguk.

“Emmm…” kami serius membaca surat itu agak kidmat bersama Fitri.

“Noname..” gumamku. Fitri mengangguk.

“HEY! PAK IYUS OTEWE KESINI!!” Ardhi dan Rizky teman sekelasku—yang kembar—berteriak dari depan kelas. Satu kelas hanya menatap keduanya dengan pandangan ngeri, termasuk aku.

“Ada apa dengan saya, Ardhi Rizki dan Rizky ardy?” Dari belakang Ardhi, Pak Iyus menatap dengan pandangan yang menusuk. Keduanya yang mati kutu hanya menatap ke arah lantai.

Satu kelas tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Pak Iyus memang sangat terkenal killer. Se-killer-killer-nya guru SMA. Tipe guru yang dihindari baik di dalam kelas dan luar kelas. Fakta lain mengenai guru ini, dia tau semua nama-nama murid di SMA Bina Nusa Internasional. Entah terbuat dari apa otaknya itu.

“kalian berdua, kamu tunggu saya di luar!” Perintah Pak Iyus. Mereka menurut tanpa banyak bicara lagi.

Aku agak kasihan dan hanya menatapnya sambil tersenyum dengan simpati. Ardhi menangkap basah  senyumanku. Ia menyunggingkan balasan senyum padaku.

Bel pulang sekolah membuat kelasku—yang sedang ada tes bahasa perancis mendesah lega bersamaan. Rizky, si kembar yang notabene ketua kelas, mengumpulkan kertas test kami dan memberikan pada pak Iyus (lagi)—yang harus mengawas karena guru prancis (asli prancis katanya) tidak masuk sekolah karena sakit.

Pak Iyus segera membubarkan kelas. Dengan suka cita, kami mengikuti langkah guru killer tersebut dari belakang. Tidak terkecuali aku yang bahagia karena yakin ulangan bahasa prancisku akan sukses—karena semalem belajar semalam suntuk, hampir aku tidak tidur—mendapat nilai setidak-tidaknya meninggalkan garis batas yang kutoleril.

Saat sedang memikirkan test tadi, tangan kananku di pegah (di cegah sepertinya) oleh orang lain. Aku menatap muka orang tersebut.

“Ada apa, dhi?” Ardhi, teman-sekelas-sekaligus-kembaran-Rizky, tersenyum.

“Bisa ngomong bentar gak?” Tanyanya harap-harap cemas. Aku agak sedikit bingung tapi mengiyakan ajakannya.

Setelah kami berdua berada di taman sekolah, aku menunggu. Muka Ardhi yang biasanya penuh ceria dan konyol tiba-tiba memucat. Mukanya berganti ganti dari merah, menjadi biru, dari biru jadi hijau, dan kembali ke warna merah.

“Kamu sakit?” Tanyaku prihatin.

Ardhi malah menggengam kedua tanganku. Ia menatap langsung ke mataku yang bingung.

“Mau gak kamu jadi pacarku, Ran?”

“Apa??”

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang