31. The Man

234 2 0
                                    

“kalau kamu gak bisa, gak usah maksa, Rana..” Kirana hanya menggeleng dan meneruskan mengisi lembar jawaban di depannya. Salah satu guru dari SMA Nusa Dua Internasional—Bu Btari—mengawasi Kirana dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya.

“waktunya tinggal tiga puluh menit lagi ya, Kirana..”

“siap, bu.. bentar lagi juga beres!” sahut Kirana sambil menghormat a la prajurit pada seorang kapten.

“sudah, kerjakan sana!” perintah Bu Btari.

Kurang dari setengah jam, di tangan Bu Btari sudah ada lembar jawaban dan soal. Disaksikan oleh orangtua Kirana dan Kirana sendiri, satu paket kertas itu di segel. Dengan segera juga, Bu Btari mohon undur diri dan juga mengucapkan terima kasih untuk tiga hari berturut-turut mengunjungi Kirana yang sedang sakit. Mama Kirana hanya tersenyum dan mengantar kepergian Bu Btari.

Begitu pintu di tutup dan Mama Kirana berjalan untuk mendekati anak semata wayang-nya itu, pintu kembali terbuka dan memunculkan wajah yang sedikit cerah.

“siang, cantik! Gimana UN-nya? Sukses gak? Gue sih pastinya sukses! Gue gitu!” Fabian menepuk dada-nya dengan pede. Mama Kirana memutar bola matanya dan tanpa aba-aba ia keluar dari kamar Kirana. Meninggalkan Kirana dan Fabian berdua saja.

“UN? Cetek!” ucap Kirana sambil tertawa.

“gitu dong.. ketawa, jadi cantiknya makin-makin!” goda Fabian lagi.

Kirana membuang mukanya yang masih tersenyum diikuti semburat merah di wajahnya. Sebuah kotak tersimpan di atas pangkuannya. Kirana menatap kotak yang berisi coklat favoritnya itu. Tanpa malu-malu, ia membukanya dan mencicipi satu.

“emm.. enaaakk..” ucap Kirana kekanakan.

Fabian tertawa melihat senyum yang baru pertama kali dilihat olehnya setelah seminggu kemarin ia terus menerus terdiam dan murung. Fabian menatap ke arah jendela besar di depannya dan menerawang sesuatu kejadian yang tak pernah ia lupakan seumur hidup.

“gue.. gue pengen keluar, Ian..” ucap Kirana lirih, “gue pengen liat—“

“elo.. mau?” tanya Fabian ragu. Kirana mengangguk pelan.

Fabian mengambil kursi roda yang berada di pojok supaya dekat dengan blankar yang ditiduri Kirana. Kemudian, fabian menyibakkan selimut Kirana yang menutupi kaki kirinya yang terbalut perban.  kakinya patah, membuatnya tidak bisa berjalan untuk sementara waktu. Kirana mengalihkan tatapannya pada kakinya dan menopang tangannya pada Fabian dan mengangkat dirinya untuk duduk di kursi roda. Kirana mengambil selimut yang terlipat di atas bantalnya untuk menutupi kedua kakinya.

“yuk..” ajak Kirana.

Fabian mengangguk samar dan mendorong kursi roda Kirana pelan.

####

Sakit. Iya, ini sakit.

Aku enggak tahu rasa sakit mana yang sekarang aku rasakan. Badanku-kah? Atau kedua kakiku yang terjepit oleh mobilku sendiri. Aku mengerjapkan mataku yang masih kabur dan melihat kekacauan yang ada di sekitarku. Seseorang berteriak memanggilkan seseorang.

Pintu kemudi mobilku dipaksa terbuka menggunakan benda berat-entah-apa-itu. Aku melihat seraut wajah milik seseorang yang aku kenal. Mukanya—yang memang berantakan—tambah berantakan. ia menyingkir dari hadapanku untuk membuat pintunya terbuka.

Setelah terbuka, ia memanggil beberapa petugas untuk membantuku keluar. Aku berteriak kesakitan karena dipaksa untuk melepaskan jepitan dua besi di bawahku. “sakit..” ucapku lirih.

“Pak, terjepit!” lapor seorang petugas.

“kamu bisa, Rana! Tahan!” ucap Fabian dari sampingku.

“oke, jepitannya tidak terlalu rapat. Kita tarik dalam hitungan tiga. Satu.. dua.. tiga!”

“AAAAHHHH!!”

###

Kirana bangun tidur dan mendapatinya sudah ada di kamar rumahnya. Ia menenangkan jantungnya yang mulai berdegup agak pelan. Ia merasakan denyut pada kakinya yang patah dan meringis pelan. Dokter bilang ini pasti sembuh sekitar 3 bulan lagi. Berarti waktu prom dia sudah sembuh, kan? Dia tersenyum kecut dengan pertanyaan yang melintas pada benaknya.

Sekarang jam tiga pagi. Kirana bermaksud untuk menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia mengulurkan kaki kanannya dari tempat tidur dan mengambil kursi roda yang berada di dekatnya. Setelah duduk, ia mendorong menuju kamar mandi yang berada di sisi terjauh kamar dan mendorong pintunya.

Setelah selesai, ia shalat tahajud untuk menenangkan pikiran dan hatinya.

“biar saya aja yang anter, tan?” tawar seseorang dari depan pintu rumah Kirana yang terbuka.

Kirana menyipitkan matanya dan menangkap sosok yang sudah lama tidak ia lihat. Seragamnya rapi. Senyum tersungging di bibirnya. Sorot mata tajam dan menusuk namun terlihat binar kejailan terpancar dari sana.

“ngapain elo di sini?” tanya Kirana tajam.

“Rana!” tegur ayahnya.

Ia hanya membuang mukanya dan mendorong kursi rodanya untuk melewati Karel. “Ran..” Kirana terhenti karena kursi rodanya di cekal oleh Karel.

“Rel.. please.. gue ada supir yang bisa anter gue kemana aja. Gue gak butuh elo, selamanya..” Kirana menekankan kata ‘selamanya’ pada kalimatnya itu.

Orang tua Kirana yang melihat interaksi sepasang anak di depan pintu tersebut menatap dengan prihatin dan tidak ingin mengganggu sama sekali. Tiba-tiba, mereka mendengar sebuah suara lelaki lain dari arah pintu. Muncul seorang lelaki lagi!

“awas lo!” suara keras Fabian membuat ayah Kirana berdiri menuju dua orang lelaki yang memperebutkan putrinya itu.

“udah.. bubar kalian! Kirana biar om yang anter..” lerai ayah Kirana. Muka pucat Kirana menjadi berwarna kembali setelah melihat ayahnya ikut campur tangan. Kirana mengangguk pasti dan meminta ayahnya untuk segera pergi dari rumahnya.

Mobil yang ditumpangi Kirana dan ayahnya telah pergi beberapa detik yang lalu. Namun, kedua lelaki itu tetap berada di depan rumah Kirana dengan tatapan seperti saling membunuh. Ibu Kirana menyadarkan keduanya untuk segera berangkat ke sekolah. Dengan kesadaran yang setengah penuh, keduanya pergi meninggalkan area rumah Kirana.

Di dalam mobil yang dinaiki bersama anaknya, Ayah Kirana melirik putri semata wayangnya tersebut. Ia tersenyum kecil melihatnya sibuk dengan handphone di tangannya. Namun, terlihat jelas dari ekspresinya yang tidak fokus pada handphone.

so? Who do you choose?” Kirana mendelik pada ayahnya dan menghela napas berat.

“maksud papa? Aku gak ngerti deh..” kelit Kirana dengan rona wajah yang memerah.

I know what I mean, Rana..” ucap ayahnya pelan sambil tersenyum pada Kirana.

“menurut papa yang mana?”

“menurut papa, orang yang harus di pilih adalah orang yang selalu bikin kamu bahagia dan kamu gak bisa liat dia sekali aja. Orang yang bikin kamu ngerasa sempurna dengan kekurangan kamu.. satu lagi,” ayahnya menarik napas sebentar dan melanjutkan, “jangan coba-coba bohongin diri kamu.”

“tapi.. gimana caranya aku tau kalau aku bohong sama diri aku?” tanya Kirana gelisah.

“tanya pada hati kamu..” ayahnya menyentuh jantungnya dengan telunjuk kanannya. Kirana mengangguk dan tersenyum.

The Man should be you..” ucap Kirana lirih.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang