13. best Friend Fight

283 6 0
                                    

"Telat lima detik," karel memperingati dari atas motor hitamnya saat jarak kami hanya 2 meter.
Aku menatapnya marah dan segera menghampirinya. Wajah Karel yang biasanya penuh senyum untuknya berganti menjadi ekspresi dingin. Dalam beberapa menit itu, aku hampir tidak mengenali sosok Karel yang telah aku kenal.
“Apa sih masalah elo?” Tudingku marah.
“Nothing.” Jawabnya. Ia melemparkan helm putih yang biasanya aku pakai. Namun, saat berada di tanganku, aku segera melemparkannya.
“There is something when you say nothing, Rel.. gue tau elo!” Teriakku.
Parkiran motor yang sedang ramai-ramainya membuak aku dan karel menjadi tontonan. Aku benar-benar tidak pesuli jika aku beneran menjadi tontonan. Cowok sableng satu ini memang buduh diteriakki dan diperhatikan banyak orang.
“So.. elo tau gue kan? Berarti harusnya elo tau sekarang gue kenapa,” jawabnya diplomatis namun terkesan dingin.
“GUE GAK TAHU, KARENA ITU GUE NANYA SAMA ELO!!” Teriakku tambah keras.
“Gak usah teriak-teriak. Gue gak budek..”
“If that so, please answer my question!”
“Later, okay? I’ll explain it to you..” jawabnya terdengar letih. Akhirnya, dia menyerah juga! Kataku dalam hati merasa menang. “So, please.. aku anter kamu sekarang, ya?” Mohonnya. Aku hanya tersenyum simpel.
Karel turun dari motornya dan mengambil helm yang tadi aku lemparkan. Dia ridak memberikannya padaku tapi memakaikannya di kepalaku. Entah bagaimana, jantungku berkhianat dengan degupan yang tiba-tiba abnormal. OMG, this is not happening..

Cafe Infinity terlihat agak lengan. Hanya beberapa meja yang berisi pelanggan-pelanggan yang sedang santai mengobrol atau membaca buku yang telah disediakan oleh pemilik cafe. Aku selalu menyukai suasananya yang tenang. Disini juga memutarkan lagu-lagu jazz yang dapat membuat syaraf ototku seketika mengendur. Ini adalah Cafe favorit aku dan Karel semenjak kami kelas satu SMP. 
Karel duduk di kursi pojok—tempat dia biasa merenung—dan memesan black coffee. Aku memesan waffle dan hot chocolate pada waiterss. Wajah karel terlihat agak suntuk dan kesal. Ia seperti sedang menahan sesuatu keluar dari dirinya. Aku menunggu hingga dia selesai berbicara dengan dirinya.
Untuk mengusir rasa bosan, aku mengedarkan pandanganku ke sekitar cafe. Ada sekitar 4 meja yang terisi—termasuk meja kami. Setiap meja yang ada penghuninya itu terdiri dari 2 hingga 4 orang. Dua orang sepasang kekasih sepertinya berumur tidak jauh dengan kami di pojok sebrang kami. Dua orang laki-laki berjas yang terlihat sedang meeting di luar kantor, duduk di dekat pasangan tadi. Didepan mereka ada sebuah laptop—menguatkan dugaanku. Di dekat kami—tiga meja dari kami—empat orang wanita berumur 30-an sedang berdiskusi mengenai dua lelaki berjas tadi. Aku yakin, mereka sudah menikah. Dasar…
“Tadi elo ngapain berduaan sama Ardhi?” Karel memecah keheningan diantara kami.
“Hah?” Tanyaku. Otakku belum bisa mengolah kata-katanya. Karel mengulangi pertanyaanya dan seketika aku yakin mukaku berubah merah.
Aku segera menceritakan tembakkan Ardhi. Muka Karel tidak berubah, jadi aku segera melontarkan pertanyaan yang sedari tadi menghantui otakku.
“Menurut elo, terima apa enggak ya?”
“Elo ada rasa, emang?” Tanya Karel balik. 
Elo kok malah nanya gue balik sih?” Tanyaku kesal. Waiterss datang mengantarkan pesanan kami. Suasana panas yang tiba-tiba saja tercipta sangat terasa disekitar kami.
“Bisa gak sih elo ngomong gak pake urat?” Karel memijit-mijit dahinya. Karena tidak mau menjawab pertanyaannya, aku mengalihkan perhatianku pada pesananku. Aku menyesap hot chocolate-ku sedikit dan mengambil pisau-garpu untuk mulai menikmati waffle.
“Elo tahu kenapa gue suka banget black coffee?” Tanya Karel. “Karena gue seneng sama sesuatu yang murni tanpa tambahan apapun. Mungkin rasanya pahit dan gak enak. Tapi bukannya sesuatu hal itu enggak semua sesuai dengan keinginan ya? Filosofinya sama saat gue minum ini kopi,”
Aku menatap wajah Karel yang damai saat menyesap black coffee. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia jadi aneh. Hari ini mungkin yang paling aneh dari sikapnya. Aku mendekatkan diriku pada Karel yang berada di sebrangku. Karel menatapku dengan pandangan bingung. Aku mengamati mukanya dan langsung menempelkan tangan kananku pada keningnya.
“Enggak panas,” gumamku.
“Ih, apa sih!” Karel menepis tanganku, aku langsung tertawa terbahak-bahak karena geli dengan perubahan mukanya yang seperti kepiting rebus.
“Oke deh.. mungkin gue mau terima tembakan Ardhi. Kapan lagi coba? Yaa gue suka sama ia, who doesn’t? Dan mungkin dia bisa jadi pacar yang baik.” Aku tersenyum pada Karel. “Thanks yaa.. elo emang sering nyebelin. Tapi elo itu best ever friend gue deh!”
Karel pindah duduk ke sebelahku dan merangkul pundakku. “Yeah.. we are best friend.” Ucapnya.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang