21. Amarah Yang tak Padam

238 5 0
                                    

Selama berbulan-bulan aku tidak mau berbicara baik dengan Ucup ataupun Fitri. Sejak kejadian itu, aku memutuskan duduk sendiri di bangku paling depan dekat para penyamun di kelas. Aku tidak peduli mendapat godaan dari cowok-cowok kurang ajar itu. Lebih baik seperti ini daripada memiliki teman sebangku yang tukang bohong. Diluar kelas, Ucup dan Karel berusaha untuk bertanya lebih lanjut penyebab kemarahanku ini. Namun, tidak aku jawab semua pertanyaan mereka.

Aku hampir mengancam Karel karena sejak saat itu, dia jadi lebih bawel daripada biang gosip sekolah. Aku juga melupakan curhatan Yuri dan suratnya (yang kalau tidak salah masih ada di laci meja belajarku, tak tersentuh). Dan juga aku sudah hampir lupa tentang Fabian. hadiahnya, suratnya, dan sikapnya.  Lagi pula sebentar lagi Ujian Akhir Semester (UAS) dan Pendalaman Materi (PM) untuk Ujian Nasional (UN) bagi kelas XII akan segera datang. Otakku penuh dan hampir tidak bisa berfikir hal yang lain lagi.

“Kiran..”

“yuk, pulang!” ajakku cepat, begitu Karel muncul di ambang pintu kelasku yang sudah terbuka.

“Ran—“

“elo mau anter gue pulang atau enggak?” tanyaku tajam.

“gue bersedia nganter elo kok..” tawar Fabian dari arah belakang Karel.

Karel segera berbalik dan menatap Fabian dengan kemarahan yang tak terbendung. Dua pasang mata tajam mereka saling mengadu. Kalau tidak segera pergi, aku tidak mau berakhir di kantor kepala sekolah.

“ya udah, anter gue, Ian..” perintahku sambil berjalan melewati Karel.

“siap!” jawabnya segera.

“eh, tapi Ran..” Karel mencekal tangan kananku. Aku mendongak untuk menatap mata Karel.

“elo mau nganter gue atau mau ngomelin gue?” tanyaku langsung.

“gue..”

“okay, fine..bye!” aku menarik tangan kananku dan segera berjalan bersama Fabian.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang