22. Aku dan Dia

236 4 0
                                    

Aku jalan bersebelahan dengan Fabian. Setiap murid yang melihat kami bahkan melihat kearah kami dua kali. Setiap pasang mata melakukan hal yang sama!Aku memutar bola mataku. Kualihkan perhatian pada cowok di sebelahku ini. Fabian Blaze Hartman.

“tumben berani go public..” ucapku sinis.

“elo tuh kalau sama gue sinis melulu. Giliran sama dua kecoa—“

“mereka punya nama.” Tegasku.

“okay..” kata Fabian dengan malas, “giliran sama Karel dan Ucup elo manis banget..” lanjutnya.

“sama kan, elo juga gitu.. giliran di rumah sok-sok manis, begitu di sekolah biang onarnya keluar,” cibirku.

Kami berjalan melewati lapangan basket dan voli. Aku mengalihkan tatapanku pada orang-orang yang sedang berlatih. Di antara mereka, aku melihat keberadaan Ucup, sendirian. Dia menatap aku dan Fabian dengan pelototan maksimal. Beberapa orang tim voli cewek yang melihat ekspesi Ucup seperti terpesona. Dih, sok banget sih! Tukasku dalam hati. Namun, di hati kecilku aku memprotes pikiran negatifku itu.

“gue gak manis. Cuma bersikap selayaknya anak di rumah.” Sanggah Fabian.

“manja?” tebakku.

“enggak!”

“Kir!” seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan kembali berjalan lebih cepat.

“yuk! Buruan..”

“iya.. buru-buru amat sih!”

Begitu sampai di rumah, motor ninja merah itu diparkirkan di sebelah mobil sedan perak. Fabian ikut turun dan mengantarku hingga pintu depan. Sikapnya yang biasanya kurang ngajar tiba-tiba menguap dibawa angin saat kami kebut-kebutan.

“elo kepribadian ganda ya?” tanyaku penasaran.

“enggak..”

“terus sikap lo?” tanyaku lagi hati-hati.

“gak apa-apa. Mungkin topeng gue kali. Tapi, gue nyaman kalau kayak gini,” jelasnya. Begitu di depan pintu, dia mengelus-elus puncak kepalaku. Ia bersiap berjalan meninggalkanku saat pintu rumah terbuka.

“Wah! kayaknya kalian pulang tiap hari bareng, ya?” tanya mama tiba-tiba.

Fabian tersenyum.

Sekarang aku mengerti kenapa orang seperti Fabian memiliki sikap yang nyebelin banget di sekolah dan malah bikin imej jelek. Dia jadi terlihat gantengbanget-banget saat tersenyum. Entah aku sekarang setengah gila atau apa, tapi, orang seprti Fabian memang lebih pantas bermuka dingin dan gak pernah melontarkan sesuatu yang lucu. Sikapnya yang awas itu juga membuat orang-orang menghindarinya. Padahal, mungkin pembawaan sering berantem-nya itu membuat dia awas pada sekitarnya. Tapi seperti kataku tadi, dia berbeda sikapnya padaku saat di rumahnya. Entah kenapa dia menjadi seperti itu.

“iya, tante.. kebetulan tadi saya PM-nya enggak sampai sore seperti biasanya.” Jawab Fabian sopan. PM? Pasti bercanda nih orang.. Celaku dalam hati.

Mama pasti sangat terpesona pada senyum Fabian. Ia menatap rambut panjang Fabian yang belum ia potong sejak.. oh, sejak dia terakhir kali bertemu dengan mama. “jadi makin gateng aja nih.. pantes ada yang—“

“mama..” potongku untuk memperingatkannya agar enggak ember.

“hehe.. gak jadi deh, kalau gak buru-buru masuk dulu aja, ya!” undang mama.

“siap, tante!” jawab Fabian bak seorang tentara.

Begitu mama kembali ke dalam rumah. Fabian malah pergi menuju motornya. Dia segera menggunakan jaket hitam yang tadi dia tanggalkan. Ia menstater motornya dan segera menggunakan helm full-face. Aku yang masih menggunakan helm merah miliknya segera sadar dan berusaha mengembalikan pada Fabian.

“simpen aja, balikkin ke gue kalau elo mau ke rumah..”

Fabian segera pergi meninggalkan area rumahku dengan kecepatan tinggi.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang