32. The Truth

278 2 0
                                    

Aku sampai di sekolah setelah absen selama dua minggu. Aku ikut UN tentu aja. Tapi, untuk urusan ujian praktek dan ujian tulis sekolah, enggak mungkin dia lakukan di rumah sakit—seperti UN—atau pun di rumah. Setelah agak memaksakan pada mama, akhirnya ia diberi izin. Lagi pula, ‘masa calon Harvard University harus nyerah karena patah tulang doang!’ ucapku waktu itu. Mama hanya tersenyum—setelah sekian lama di bujuk—dan menanggguk.

Aku bersikeras untuk tidak di antar oleh ayah sampai ke depan kelas, atau masuk ke kelas sekalian, karena malu. Tapi seperti biasanya, aku memenangkan perdebatkan untuk bisa mendorong kursi rodaku menuju kelas.

“hati-hati sayang..” ucap ayahnya dan mencium keningku.

have a safe drive, dad..” ucapku.

Setelah mobil agak menjauh, aku segera memajukan kursi roda. Tapi, aku merasa agak ringan dan menatap seseorang di belakangku. Dia sedang mendorong kursi rodaku dengan santai. What is she doing?!

“elo ngapain?” tanyaku dengan nada sesinis mungkin

“ngaterin elo ke kelas, what else?” jawabnya dengan nada biasa.

“gue. Gak. Butuh. Bantuan. Elo.” Ucapku menekankan kata per kata.

“tapi. Gue. Butuh. Nolongin. Elo. so, suck it up!” tandasnya.

Dengan perasaan dongkol, aku menerima pertolongannya. Hampir semua orang menatap kami dengan muka bingung. Tidak sedikit—atau bisa aku katakan seluruhnya—tau kalau aku, fitri, Ucup, dan Karel sudah enggak sahabatan lagi. Seminggu kemarin aku sudah meminta orang di rumahku untuk tidak memberi izin masuk untuk mereka bertiga dan kayaknya aku gak bisa menghindari mereka selamanya.

“eh, eh, ini mau kemana?” tanyaku bingung melihat arahku sudah melewati area kelas. Tanpa menjawab apapun, Fitri ternyata membawaku ke taman belakang sekolah. Tempat dimana semuanya terbuka, dulu.

“gue mau elo ngomong sama seseorang, berdua..” ucap Fitri sembari menghentikan kursi roda di depan seorang cowok tinggi yang memunggungiku.

“hai, apa  kabar?”

“Ucup?” tanyaku kaget.

“iya, ini gue. Apa.. apa kabar, Na?” Ucup mendekat kearahku dengan ragu.

“bohong kalau gue bilang baik..” jawabku kecut.

“okay, my bad..” Ucup mendorong kursi rodaku menuju sebuah bangku taman yang sedikit usang di ujung taman.

“Na, gue pengen nanya sama elo, apa yang lo rasain sama gue?” tanya Ucup begitu ia duduk di bangku tersebut—berhadapan denganku.

“gu-gue..”

“jujur na.. gue sayang banget sama elo.. gue kayak ngeliat almarhumah adik gue yang udah gak ada empat tahun lalu. Elo selalu ngingetin gue sama dia.” Ucup mengadahkan wajahnya ke arah langit seperti sedang kembali ke masa lalu. “sayangnya, adik gue satu-satunya itu ketabrak mobil waktu nyebrang. Umur dia waktu itu udah 14 tahun. Cuma beda setahun. Elo bisa bayangin gimana kehilangannya gue waktu itu?” Ucup menatapku dengan tatapan tersakiti yang tak pernah aku lihat.

“waktu gue liat elo pertama kali, gue ngerasa sayang banget sama elo. karena semua kelakuan dan segala-galanya tentang elo itu sama persis dengan adik gue. Tapi, gue ngerasa kalau rasa sayang itu berkembang jadi cinta. Gue rasa..” aku mendengarnya dengan tatapan menerawang.

“lalu?”

“elo itu gak pernah nolak buat dianter ke rumah, di ajak main atau apapun. Tapi elo tetep dingin sama gue. Gue ngerasa tertolak. Gue gak biasa,” Ucup tetawa hambar, “lalu muncul lah sesuatu hal yang lain antara gue sama Fitri. Yang berakhir jadi pedekate dan jadian.”

Aku terdiam menatap Ucup agak terhianati.

“’cinta? ini perasaanku sekarang padanya? ataukah hanya balas dendam karena perasaanku yang sesungguhnya tak pernah terbalaskan? atau.. memang sebenarnya gadis ini telah mencuri hatiku dari awal?’ itu yang gue pikir dulu sebelum gue jadian sama Fitri. Waktu itu gue belom bisa move on dari elo. Tapi yang gue gak ngerti adalah.. gue gak bisa kalau gak liat Fitri. Senyumnya, perkataanya, apapun yang dia lakuin, semuanya. Gue ngerasa mungkin lebih baik gue sama Fitri.. dan enggak biarin siapapun tau.”

“kenapa..”

“karena ada sebuah kejadian yang bikin gue ngerahasiain ini dari elo.” potong Ucup.

Aku bingung dengan alur cerita Ucup yang agak loncat-loncat dan terburu-buru. Padahal bel belum berbunyi sekalipun sekarang sudah agak telat seperempat jam. Aku menggerakan kedua tanganku dengan gelisah.

“Karel.” Ucap Ucup tiba-tiba.

“maksud lo?”

“iya, kejadian yang melibatkan Karel. Waktu itu gue sama Fitri lagi makan malem di Lembang. Ketemu Karel dan Yuri yang juga lagi sat-night.

 “gue masih inget kata-kata pertama sebelum Karel melayangkan tinju sadisnya itu ke gue. Dia bilang, ‘DIA SAYANG ELO, BANGSAT’” Ucup berhenti untuk menarik napas panjang, “gue kaget lagi. Elo ada rasa sama gue. gue makin gak ngerti. Waktu itu Yuri dan Fitri sampai kaget dan Yuri langsung pulang gitu aja. Besoknya gue denger mereka putus. Lagi. Tapi Karel bilang, dia gak mungkin bisa balik lagi sama Yuri. Karena ada cewek yang ingin dia jagain.”

“maksudnyaa Karel ngebocorin hal ini apa?” tanyaku pada Ucup.

I’ve no idea.. tapi.. gue ada cerita yang lain.” Aku menunggunya untuk melanjutkan ceritanya ini yang amat panjang.

“Elo tau? waktu itu dia pernah nge-gebukiin si Ardhi di depan kembarannya itu. Dia bilang buat jauhin elo. gue waktu itu kebetulan emang diajak jalan sama si Karel. Dan menurut Karel, dia kayak gitu enggak cuman sekali. Udah beberapa kali dia ngelakuin hal itu. Tapi sayangnya enggak ngasih tau gue alesannya.” Aku terperangah dan mengerti kenapa si Rizky sebegitu kalapnya waktu aku tanyain. Ucup menatapku sambil tersenyum.

“gue rasa.. gue harus ngomong sama Karel langsung..” ucapku tanpa aku fikir terlebih dahulu.

“ide bagus!”

Sebuah suara berat dari belakangku membuatku tegang. Aku membalikan kursi rodaku dan mendapati topik utama berada di depan mataku sekarang ini.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang