19. Fabian II

247 3 0
                                    

“kirana..”

Sebuah suara yang berat membuatku merinding terdengar dari belakangku. Dalam beberapa detik, aku tidak bisa berfikir. Suaranya memenuhi otakku yang membuat  otakku kosong.

“Kirana..” ulangnya.

Seketika aku berbalik dan mendapati wajahnya di depanku. Ia terlihat sangat.. ganteng. Dimataku mungkin. Padahal hampir setengah manusia di sekolah selalu mencela penampilannya. Baju yang awut-awutan seperti yang tidak pernah di setrika, keluar dari celana pula. Rambutnya dia biarkan panjang melebihi batas telinga sedikit. Matanya hitam, gelap, dan jika dilihat terus-menerus sangat menakutkan. Tingginya mungkin sepantar Karel atau Ucup yang sudah melebihi rata-rata cowok di sekolahku. Sikap tubuhnya selalu menampakan kalau dirinya berbahaya. Oke, mungkin enggak buatku.

“Jawab kalau orang manggil dong!” katanya ketus.

“ad-ada apa, Ian?” jawabku terbata-bata lalu aku tiba-tiba tersadar dengan perintahnya yang menyebalkan itu. “eh, hey.. kenapa nyuruh-nyuruh orang sih? Lagian berani amat ngajak ngobrol saat rame gini,” sindirku. Fabian hanya menaikkan alisnya.

“disini enggak ada orang.. semua temen sekelas lo udah ke lapangan Futsal. Otak lo ngelayang ke mana sih?” celanya.

“disini!” sahutku keras sambil mengetukkan tempurung kepalaku. “lagian, manis dikit kenapa sih?” protesku untuk yang sekian kalinya.

“pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama. What did you expact from me, girl? Become sweet guy? In your dream!” jawabnya dengan nada yang selalu sama. Aku hanya manyun kesal.

“nih, bonyok gue maksa buat ngasih elo ini.. padahal kan mereka sering ketemu elo dan keluarga elo. Kenapa harus lewat gue..” gerutu Fabian. Mataku memutar kesal.

Fabian mengeluarkan surat dari sakunya dan memberikannya padaku. aku menerimanya dan langsung menyembunyikannya di saku rokku.

“udah, pergi lo dari sini.. nanti—“

“ketauan si playboy dan si sok charming itu? Takut amat sih lo!” kata Fabian meremehkan.

“bukan tentang itu.. gue.. emm.. udah deh, pergi lo dari sini!” usirku.

“Kirana.. elo suka sama salah satu dari mereka? Atau jangan-jangan elo suka mereka berdua?” tanya Fabian dengan serius. Mukanya sejajar denganku—yang berarti dia sekarang sedang membungkung—hanya bejarak sepuluh senti. Dadaku berdegup kencang.

“eng..” aku salah tingkah menghadapi sikap serius yang jarang di tampilkan. Fabian menegakkan punggungnya. Tapi, tatapan matanya yang serius tidak lepas dari mataku. Dia mengangkat kedua tangannya dan meraup wajahku. Bibirnya mendarat di atas dahiku tanpa bisa aku hindari.

Lama. Aku merasakan dia melakukan ini dengan hatinya. Tapi, di sisi lain aku merasa hal ini bukan sesuatu yang harusnya terjadi. Harusnya kami tidak bertemu disini dan tidak ada satu orang pun yang menjadi saksi mata. Oh my.. apa yang udah gue lakuin! Batinku.

Aku melepaskan tangannya yang berada di kedua sisi wajahku. Detik itu juga aku langsung lari meninggalkan Fabian.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang