Hal yang paling ditakuti pun tiba. UN Atau orang-orang menyebutnya dengan Ujian Nasional. Aku optimis—seperti biasanya—akan mendapatkan nilai tertinggi di sekolah. Soal-soal pra-UN kemarin pun sangat mudah kulalui. Aku menatap jadwal UN beserta kartu ujiannya. Aku menatap dengan tatapan berbinar dan melihat dua benda di tanganku ini sebagai tiket emas untuk keluar dari dunia sekolah yang sudah membuatku sesak.
Aku sudah tidak ambil pusing dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Karel, Ucup, ataupun mantan sahabatku, Fitri. Perhatianku saat ini hanya terfokus pada dua hal, yaitu pada Fabian dan pada Ujian.
Saat aku berjalan menuju perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku yang sudah setia menemaniku belajar. Buku yang aku pegang memang sangat banyak, yaitu 6 buah dengan masing-masing buku setebal 400 halaman. Namun, aku mencoba untuk tidak kesulitan dengan hal ini.
Keadaan sekolah masih ramai padahal hari sudah menjelang sore. Beberapa anak ada yang sedang melakukan aktivitas ekskul atau sedang nongkrong-nongkrong di kantin. Seperti Karel. Oh My God! Disaat seperti ini pun aku masih dan hanya memikirkan dia. Ada apa sih denganku?!
Aku mencoba untuk tidak mempedulikan keberadaannya dan tatapan kami yang sempat beradu. Aku berbelok setelah melewati area kantin yang memutar dan melewati pintu sayap kanan kantin saat aku tidak sengaja terpeleset. Hal terakhir yang bisa aku lakukan hanyalah menutup mataku dengan cepat.
Tapi, tidak ada rasa sakit. Tidak ada pula rasa pusing yang mendera kepala atau di berbagai tepat di tubuhku. Yang ada hanya suara buku yang berjatuhan ke lantai. Disekeliling pinggangku seperti ada yang menopang tubuhku. Aku mencoba mengintip dari balik mataku dan kemudian mataku tertumbu pada matanya yang coklat.
“gak apa-apa kan?” suara Karel memecahkan keheningan yang tercipta di sekeliling kami. Aku tidak menjawab hanya terus menatap matanyya.
Kata orang, kalau kita menatap lawan jenis lebih dari sembilan detik maka akan tercipta perasaan di hati yang tidak pernah terduga...
Tujuh..
Delapan..
Sem—
“elo sakit ya?” tanya Karel memecahkan fantasi yang ada di benakku.
Aku segera melepaskan tangannya yang masih memegangiku. Aku berdiri seakan-akan hal tadi tidak mempengaruhi apapun (oh, tapi sangat mempengaruhi jantungku yang sekarang jadi agak aneh bila melihat mukanya). “enggak.. dan sekarang elo udah bisa ngomong sama gue ya?” ucapku sinis.
“maksud lo?” tanyanya dingin.
“maksud gue, elo udah gak gagu buat ngomong sama gue ya?”
“Ran.. please.. stop all of this shit!” Karel memijat-mijat bagian atas hidungnya.
“elo yang stop, rel!” bentakku tiba-tiba.
“emang gue selama ini ngapain sih?” tanya Karel dengan nada yang sudah mulai meninggi.
Beberapa orang yang sempat membeku di tempat akhirnya mendekati kami dan membentuk sebuah lingkaran kecil diantara kami. Mereka menatap kami dengan sorot penasaran yang tak terbendung. Karel mengikuti arah pandangku dan segera menarik tanganku dengan kasar.
“apa-ap—“
“udah, diem!” perintah Karel agak kasar.
Kami berjalan—sebagai catatan, sekarang aku sedang diseretnya pergi—melintasi lapangan yang sedang digunakan oleh beberapa orang yang bermain futsal dan basket. Diantara mereka semua terdapat Ucup dan Fabian. Di bangku dekat dengan lapangan, ada Fitri yang sedang terduduk sendirian. Mereka bertiga—dan tentu saja seantero sekolah—menatap aku dan Karel dengan penasaran tingkat tinggi. Namun, mereka hanya melihat, sedangkan Ucup, Fitri, dan Fabian langsung mengikuti kami dari belakang.
Tatapan mataku bertemu dengan Fabian. Matanya agak keras dan sikap tubuhnya berbeda dari biasanya. Ia agak waspada, itu yang dapat aku simpulkan. Sedangkan, Ucup dan Fitri—yang kuketahui, akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat karena gosipnya mereka berpacaran—saling bertatapan dan berjalan beriringan di belakang Fabian.
Karel ternyata membawaku ke tempat favoritku di sekolah. Taman belakang yang sudah agak terlupakan namun memiliki beberapa bangku yang sudah agak tua.
“mau elo apa sih, rel?” tanyaku frustasi.
“gue mau semuanya clear!” teriak Karel tanpa bisa mengontrol emosinya. Mukanya merah karena kemarahan yang terus dia pupuk untukku. Mukanya yang biasanya terlihat agak jenaka namun menampilkan cowok playboy kelas kakap hilang sudah dari hadapanku. Yang ada adalah seorang Karel yang penuh dengan emosi.
“sabar, Rel..” Ucup berada di sampingnya dan melepaskan genggaman tangan Karel padaku.
“biar gue yang jelasin..” ucap Fitri tiba-tiba bersuara.
“maafin kami—gue dan Ucup—untuk segalanya, Na..”
KAMU SEDANG MEMBACA
between Kirana, friendship, and Love (completed)
Teen Fictionkirana. karel. fabian. ucup. persahabatan antar lelaki dan perempuan itu enggak pernah murni! yakin? awalnya sih Kirana merasa yakin, hubungan antara sahabat-sahabatnya itu tanpa ada rasa sama sekali. tapi, cinta kan gitu.. datang gak di jemput, pul...