15. Ancaman

255 4 0
                                    

Keesokkan harinya, aku tidak melihat batang hudng Ardhi dan Rizky dimana-mana. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.30 tapi keduanya belum muncul-muncul juga. Karena rasa penasaran yang tidak dapat terbendung, aku menyenggol tangan Fitri yang sedang menyalin PR fisikaku.

“Apa sih?” Tanya Fitri terdengar kesal.

“Kok Ardhi sama Rizky gak kelihatan ya?” Tanyaku pelan.

“Ooh.. mereka berdua izin. Nih, surat izinnya di tangan gue. Kenapa?” Fitri mendorong buku tulis fisikaku padaku dan tersenyum berterima kasih.

“Gak, gak apa-apa..” aku menggeleng untuk meyakinkan Fitri.

“Eh, tau gak… bla.. bla..”

Dan seharian itu aku tidak mendengar apapun yang yang dikatakan siapapun padaku.

Pada hari selanjutnya dan seterusnya, aku masih tidak mendapat sosok si kembar penuh onar tersebut. Namun pada hari keempat aku menunggu, baik rizky atau pun Ardhi tidak terlihat batang hidungnya. Namun pada hari keempat aku menunggu kehadiran mereka, Rizky akhirnya masuk sekolah. Pelipis kirinya di beri plaster. Entah apa yang terjadi. Dadaku malah berdegup kencang karena khawatir.

Aku mendekatinya untuk mengetahui bagaimana ia mendapatkan luka tersebut dan kemana Ardhi akhir-akhir ini.

“Ky..” aku tersenyum padanya, namun Rizky hanya melewatiku dan tidak membalas sapaanku. Mukanya tiba-tiba saja berubah malas dan dingin.

Sehari itu, Rizky seperti orang lain bagiku ataupun bagi seantero kelas. Ia hanya terdiam di bangkunya. Sendirian.

Saat isitrahat pertama dan kedua ia pergi entah kemana dengan gerombolannya hingga waktu isitirahat selesai. Namun saat dimana dia sendirian akhirnya terbuka juga. Ia minta izin ke toilet saat tengah-tengah pelajaran. Begitu ia keluar kelas, aku ikut meminta izin untuk ke toilet juga. Tanpa ada rasa curiga, guru tersebut memberiku izin.

Aku menunggu di lorong depan mading sekolahku. Rizky pasti lewat sini, batinku.

Sosok rizky terlihat dari belokan, suasana lorong yang memang tidak terlalu ramai membuat dia menyadari kehadiranku—yang tentu saja—ada kerena menunggunya. Wajah tidak peduli dan dingin langsung ia tampilkan pada raut mukanya.

“Ky, elo kenapa?” Tanyaku pelan.

“None of your business..”

“Ardhi—” 

“Jangan berani-berani sebut nama dia. Dan muali sekarang jauhin Ardhi, ngerti?”

“Tapi—”

“Jauhin dia!” Tegasnya. Rizky segera berjalan melewatiku. Ia tidak peduli dengan tatapanku yang bingung sekaligus terluka.

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang