28. Tragedi I

250 3 0
                                    

Hari minggu itu aku merasa tidak tenang. Pikiranku meloncat-loncat ke mana-mana. Hilang sudah konsentrasiku. Aku menghempaskan diriku di atas kasur dan menapat ke langit-langit kamarku. Melihat tiap bentuk dari lampu kamarku yang mewah. Menatap kamarku yang seluas 9x9 meter persegi. Kamar seluas ini terasa sepi dan kosong tanpa ada tawa dari aku maupun pengunjungnya.

Sudah hampir dua bulan kamarku serada dingin tanpa pengunjungnya. Aku biasanya mendekam di kamar hanya untuk belajar dan tidur. Tiap hari aku selalu diam di tempat les. Tapi hari ini? Tepat sehari sebelum UN. Tempat les-ku meliburkan murid-muridnya. Sekolah pun memberikan hari tenang sejak 3 hari yang lalu. Rumah kosong karena mama dan papa pergi untuk mengunjungi kawinan-entah-siapapun-itu. Para pengurus rumah—yang berjumlah selusin itu—sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan aku malas untuk mengganggu mereka seperti biasanya.

Aku menatap jam dinding di atas meja belajarku. Baru jam 11 rupanya.. pikirku. Aku memutuskan untuk pergi dan segera pergi ke kamar mandi.

Jalanan Kota Bandung sangat ramai. Hampir beberapa kali aku harus menginjak rem karena kemacetan yang hampir menyamai Kota Jakarta. Dengan senang hati, aku memasukki parkiran toko buku yang aku tuju. Dengan usaha perbaikan mood juga, aku memarkirkan mobil sedan ini dengan mulus dan tanpa menubruk apapun.

Mengunjungi toko buku.

Satu hal yang sangat aku sukai. (Oh, diatas prioritasku sebelum beli baju dan perhiasan lainnya.) entah bagaimana, mencium buku-buku baru yang sedang disusun oleh para petugas membuat mood-ku menjadi lebih baik daripada tadi, saat berada di kamarku. Beberapa anak-anak tingkat sekolah dasar banyak yang berlarian menuju tempat komik dan buku anak. Tapi, ada beberapa juga yang diseret sang ibu karena tidak memperbolehkannya membeli komik terlalu banyak. Aku tersenyum dalam hati melihat hal itu.

Ada beberapa pengunjung juga yang sedang mengantre ke kasir. Karena hari ini adalah akhir pekan, toko buku ini begitu ramai. Aku melihat banyak buku bagus di area bestseller. Aku membaca satu dua buku untuk mencari beberapa kandidat buku yang akan aku beli. Kakiku pun melangkah ke area buku novel dan buku terjemahan. Jenis buku yang paling aku nikmati.

Ditanganku saat ini ada dua buku yang sudah aku pastikan untuk aku beli. Satu buku dari area psikologi remaja dan satu dari area bestseller tadi. Namun, peganganku pada kedua buku itu langsung hilang begitu aku melihat sosok seseorang yang telah lama tak aku lihat.

“kirana..”

Aku hanya bisa melongo (tanpa mulut terbuka) menatap lelaki yang seumuran denganku itu. Tidak ada satu kata pun yang dapat keluar dari mulutku ini.

“e..el-elo..” ucapku terbata-bata.

Lelaki itu masih seperti kemarin-kemarin dengan rambut yang mulai agak panjang. Ada kumis tipis diatas bibirnya dan jambang yang sekarang agak panjang. Ia tidak pernah membiarkan penampilannya seberantakan ini. Tapi, inilah kenyataan yang aku lihat sekarang. Ekspresinya sama kusutnya dengan penampilannya yang hanya dibalut dengan kemeja putih kusut dan celana jeans berwarna hitam.

“Ran.. akhirnya kita bisa ketemu.. lagi.” Ucapnya agak ragu dan menatapku dengan dalam. Tidak ada jawaban apapun dari mulutku. Hanya mataku yang nyaris keluar dari tempatnya. Bisa ketemu lagi gimana?! Kita kan satu sekolah! Makiku dalam hati. Ia berjalan mendekatiku hingga jarak kami tinggal setengah meter.

“gue.. gue kangen banget sama elo..” ucapnya lirih.

Aku terperangah mendengar pengakuan seorang Muhammad Karel Smith.

“tapi.. gue..” sial! Kenapa gue masih gini sih?!

“Ran, gue kacau kalau gak ada elo. Gak ada seorang pun yang bisa kasih  perhatian sebesar elo ke gue. Mama, papa, dan adek-adek gue mungkin selalu ada kalau kita makan bareng. Tapi mereka gak pernah ada kalau gue pengen dapet perhatian. Dan selama sepuluh terakhir ini, Cuma elo yang bisa ngasih itu..”

“elo punya pacar, rel.. elo orang yang menyenangkan, penuh dengan joke-joke garing yang kadang bikin sekitar elo ketawa. Elo bisa tanpa gue dua bulan ini, kan?” ucapku dengan sakit hati yang sudah akrab denganku dua bulan ini. Kemudian, Aku mengingat Karel yang bercanda dengan teman-temannya di lapangan basket beserta Ucup dan Fitri di dalamnya.

“sebut gue berengsek, tapi mereka itu beda sama elo, Ran.. selama ini gue gak pernah ngerasa kehilangan tapi, kehilangan elo adalah segalanya, Ran..”

“mak-maksud elo?” ucapku tergagap. Karel meraih kedua tanganku dengan erat.

“maksud gue..” Karel menatapku dalam dan menghembuskan nafas berat. “jadi sahabat gue lagi, Ran..”

Aku serasa di sambar petir dengan permintaannya. Dengan agak kasar, aku melepaskan tangannya dan pergi dari sana. Beberapa pengunjung menatap kami dengan penasaran dan beberapa yang hanya menatap lalu kembali ke kesibukannya. Namun, tangan kiriku di cegah oleh Karel.

“lepasin tangan elo!” bentak seseorang.

Aku kaget dan menatap seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dariku. Fabian berjalan dengan cepat dan menengahi antara aku dan Karel.

“kalau dia gak mau, jangan maksa!” geram Fabian.

“ini bukan urusan elo!” bentak Karel dengan dingin.

“sesuatu yang berhubungan dengan Rana itu selalu jadi urusan gue, paham!”

“Enggak, and this is out of limits for you, dude..” tandas Karel.

 “stop! Stop! Kalian berdua!” ucapku keras. Sekarang hampir semua pengunjung toko menatap kami dengan penasaran dicampur ekspresi terganggu.

“bisa gak sih kalian gak ribut tiap ketemu? Gue pulang aja kalau kalian berdebat terus.. malu-maluin gue aja!” omelku sambil berbalik.

“tunggu!” cegah mereka kompak. Aku terkaget dan terdiam di tempatku

 “Gue sayang sama elo!”

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang