24. Insiden

227 5 0
                                    

“elo.. kenapa..”

“seperti biasanya gue disuruh nyokap.” Ucap Fabian, menjawab pertanyaan yang tersendat di mulutku.

Siang itu, Fabian menggunakan jaket kulit hitam seperti biasanya. Ia kelihatan seperti preman terminal berwajah ganteng dari pada seorang pewaris perusahaan properti terkaya di Indonesia. Rambutnya yang awut-awutan dia kucir kebelakang. Tapi, hal itu malah membuatnya sangat.. HOT. Tangan Fabian yang meraih tanganku, membuat aku kembali ke sadaranku.

“tapi kan..”

“udah, nyokap sampai ngebangunin gue dari jam enam pagi untuk ngejemput elo jam segini.” Omelnya.

“haha.. elo sering ngomel yaa kalau enggak di sekolah.” Komentarku. Fabian hanya memutarkan bola matanya dan menarik tanganku.

“di pake helm-nya, jangan di tenteng!” perintahnya pelan.

Fabian segera menaiki motor merah, mengenakan helm full-face dan menstater motornya. Ia membantuku naik. Kemudian, motor besar merah itu keluar area rumahku dengan kecepatan tinggi.

Sesampainya di rumah bak istana milik Fabian, aku masih menganggumi aristektur bangunan ini. Perpaduan rumah-rumah modern a la eropa dan beberapa sentuhan khas indonesia terlihat disana. Sekarang, aku bisa melihat dengan detail rumah ini tanpa kelihatan bego.

Gerbang besarnya dijaga ketat oleh satpam dan di sudutnya ada kamera CCTV. Taman depannya yang luas tertata dengan baik oleh—yang aku yakin—ahli pertamanan. Area jalan untuk dua mobil sangat luas hingga terlihat seperti parkiran mall-mall. Pintu depannya yang sangat besar pun memiliki ukiran yang sangat mewah. Aku yakin, pintu itu sangat berat untuk di dorong oleh orang sepertiku.

Catnya berwarna crem dan tidak terlihat kotor sama sekali. Aku sangat yakin, pembantu di sini lebih banyak dibanding jumlah Keluarga Hartman sendiri.

"Gak usah bengong! Yuk, masuk.. nyokap udah nunggu di dalem..”

Sial! Ternyata masih kayak orang bego! Runtukku dalam hati. Aku mengikuti jalan cepat Fabian menuju ke dalam rumah. Fabian menunjuk jalan menuju taman belakang. Aku mengangguk-angguk mengerti. Namun, aku baru sadar kalau Fabian tidak ikut menemaniku.

“mau ke mana?” tanyaku.

“ke kamar, mandi, pergi lagi.” Jawabnya.

“mau ke mana?”

“ada touring bareng anak-anak.”

“ke mana?”

“Oh God! Sekali lagi elo bilang gitu, gue cium baru tau lo!” ancamnya dengan geram. Aku terkejut mendengar ancamannya itu. “sekarang, pergi ke arah yang udah gue tunjuk tadi dan pergi dari hadapan gue. Sekarang!” perintahnya.

Aku segera berlari ke arah yang Fabian tunjuk. Aku melihat ke belakang dan terkejut lagi mendapati Fabian masih di sana. Aku menatap ke depan dengan cepat dan..

“AAAHHH!!”

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang