23. Undangan

227 3 0
                                    

Surat-surat dari Fabian mulai berhenti. Kiriman bunga mawar juga  berhenti. Mungkin karena sekarang kami dekat kembali. Saat ini, aku seperti menebus saat-saat SMP. Keputusanku yang tidak mencoba untuk mempertahankan persahabatanku dengan Fabian seperti tertebus sekarang. Mungkin Fabian diam padaku bukan hanya marah karena aku tidak membelanya. Tapi mungkin juga karena dia memiliki perasaan khusus. Uh, oh! Baru kali ini aku ingin mencoba berusaha terlihat pede. Mungkin karena Fabian, pikirku.

Sejak adanya Fabian dan menghilangnya Karel, Ucup, dan Fitri di hidupku, aku tidak pernah mendapat gangguan dari Clarisse berserta konco-konconya. Bahkan tidak didekati oleh Yuri lagi. Mungkin Yuri menganggap aku berada di pihaknya, karena aku menjauhi Karel sejak mereka putus.

Keganasan playboy Karel pun semakin menjadi. Bahkan, aku melihat karel jalan dengan cewek tidak kurang dari seminggu. Setiap cewek dia perlakukansama. Usaha Karel untuk menjadi penengah antara aku, Ucup, dan Fitri berangsur-angsur mundur. Mungkin karena keberadaan Fabian.

Setelah dua minggu berkutat dengan soal-soal UAS, les di beberapa bimbel, dan PM dari guru-guru yang tidak pernah absen, aku mencoba rileks. Ketidak beradaan Fabian selama dua minggu itu juga membuatku merindukannya.Entah itu orang membolos untuk kesekian kalinya atau karena sibuk juga sepertiku. Tapi kata-kata seperti PM, UAS, dan les itu seperti bumi dan langit jika disandangkan dengan nama Fabian.

Untungnya, di akhir minggu itu mama Fabian mengundangku untuk minum teh bersama di rumahnya yang istana itu. Aku menyambut undangan itu dengan suka cita. Mungkin saja aku bisa bertemu dengan Fabian, kan? Tapi, undangan itu di sampaikan melalu telepon—bukan melalui surat yang dititipkan ke Fabianseperti biasanya—saat mama sedang bergosip ria dengan mama Fabian.

Aku segera meminta Pak Tono untuk mengantarku ke kediaman keluarga Hartman. Pak Tono segera menyanggupi permintaanku. Setelah mandi dan shalat Dzuhur, aku mencoba memilih-milih baju yang cocok untuk acara minum teh. Argh.. bahkan mama gak pernah ngadain acara kayak gini, centil banget ya mama Fabian tuh! Runtukku.

Aku memilih gaun santai se-dengkul. Bahannya yang lembut dan ringan jatuh pas di tubuhku. Aku tidak berani melihat ke arah kaca besar di kamar. Aku takut minder dan buntutnya malah membatalkan acara ini. Aku segera turun sambil membawa tas kecil dan helm merah milik Fabian. Mama sedang santai di perpustakaan kecil dekat ruang TV. Ia melongok dari balik bukunya dan menatapku dengan takjub.

“nah.. kalau kamu sering-sering pakai baju gini kan cantik, sayang..” puji mama tulus. Aku membalas senyuman mama dengan kikuk.

“I gotta go, mom..” pamitku sembari mencium tangannya.

“hati-hati sayang..”

Aku setengah berlari menuju pintu depan yang sudah terbuka. Tiba-tiba seorang lelaki muncul dan aku hampir menabraknya. Kemudian, tatapanku langsung jatuh pada seseorang yang selama ini aku rindukan.

“hai, kirana..”

between Kirana, friendship, and Love (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang