SEMBILAN BELAS : Lucu

5.1K 347 5
                                    

'I find peace in the rain'

Kedamaian yang ku temukan kini, tak lepas dari perjuanganku memberanikan diri bercengkrama dan merasakan kembali hangatnya hujan dikala petir melanda.

💧💧💧


Sore itu aku tersedak di sebuah Cafe. Ada pertanyaan sama yang di layangkan kembali kepadaku setelah berselang beberapa hari. Dari dua orang yang jelas berbeda, keduanya mengapa harus melayangkan pertanyaan yang sama?

Ah tuhan. Aku tak menginginkan ini.

Cinta itu rumit.

Sore itu mataku dengan segara membulat tak percaya setelah mendengar kalimat tanya darinya. Sosok yang dipandanganku mempunyai dua sisi bertolak belakang.

Kemudian tubuhku mulai gemetar lagi dan terus gemetar ketika suaranya dengan hebat mengejutkanku. Bukan, bukan suara pria itu tentunya. Ini suara gelegar petir dari langit tempatku berteduh di bawah atap Cafe.

Suara gelegar itu sudah lama tak kudengar. Bulu kuduk ku merinding dibuatnya. Aku gemetar, kakiku melemas, apa ini pertanda bahwa tiap tetes darinya masih akan menusukku perlahan?

Oh tuhan. Tolong jangan lagi..

Tubuhku melemas, rasanya sangat dingin, aku mulai memeluk tubuhku sendiri. Sekitarku seolah hampa. Sosok di hadapanku seolah kabur menjadi bayangan.

"Rain?" sapanya. "Lo gapapa kan? gue buat lo kaget ya? maaf gue ga maksud." katanya menjelaskan.

Maaf, bukan itu tapi alasannya. Aku hanya bisa menggeleng kepalaku dan tertunduk lemas. Ia tampak sangat kebingungan karena melihatku yang berubah mendadak. Tidak, aku tidak akan berubah menjadi wonder woman ataupun superhero lainnya.

Petir-petir yang muncul di langit kala itu seperti sedang menghukum seseorang. Aku melihatnya sangat mengerikan. Sudah sekitar sepuluh menit aku memeluk dirku sendiri dengan mata ku pejamkan. Akhirnya kuberanikan diri membuka mata dan mulai menatap sekitar.

Rama yang kala itu harusnya ada di depanku mendadak hilang dari pandangan.

Kau tau dia ada dimana?

Dia ada disampingku, merangkul bahuku dan menyelimutiku dengan jaketnya. Ia seperti merasakan juga apa yang aku rasakan. Ternyata sedari tadi ia bersenandung pelan untuk menenangkanku.

Aku mulai membenarkan posisi kepala ku yang menyandar pada bahunya. 

"Maaf." kataku singkat.

"Loh kenapa minta maaf. Kayaknya gue tau deh lo kenapa."

Aku hanya mengangguk.

"Boleh gue tebak ya?" katanya.

"Ehm." kataku lalu mengangguk lagi.

"Lo takut petir ya?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Bukan petirnya, tapi hujan yang bawa petirnya." kataku.

"Oh jadi phobia hujan toh, emang hujan kenapa? boleh gue kepo?"

"Hujan udah ambil--" aku tak berani melanjutkan. Aku takut hujan malah mengutukku.

"Ambil apa?"

"Abang."

Ia mendekatkan dirinya ke diriku, mengusap kepalaku ringan kemudian menatap mataku dalam. Aku tak mengerti kenapa bisa ia seperti ini.

"Rain.." jedanya "Liat mata gue."

Aku memberanikan diri mengangkat daguku. Manik katanya sekarang tepat berada didepan manik mataku.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang