DUA PULUH DUA : Cemburu

5.4K 285 0
                                    

'Worrying is stupid. It's like walking around with an umbrella waiting for it to rain'

Hatiku sakit tanpa alasan yang jelas. Melihat dirimu dan dirinya, saat itu.

💧💧💧

Sore ini janji telah ia sepakati. Jelas. Mana bisa ia menolak pinta bundanya.

Siapa kira-kira?

Betul.

Rama Abeevara.

Telah menyetujui untuk makan malam bersama dengan bundanya. Bunda berhati lembut nya itu memintanya agar langsung pulang selepas sekolah. Kali ini ia tak dibiarkan berkeliaran terlebih dahulu. Kata bundanya sih, ini penting.

Ya, walaupun hatinya sedang terasa tak begitu baik. Setelah ditunjuk dengan ekspresi kesal yang lucu dari gadis yang belakangan ini menghuni pikirannya.

***

Aku menunjuk diriku sendiri tepat di dada. Baru saja akan mengucapkan tanya "Gue?" tapi wajahnya sudah berpaling ke punggung orang lain.

Kesal.

Seperti biasa, benda berkaki empat bernama Tobias itu telah menunggu ku untuk membuka pintunya. Padahal seharusnya hari ini adalah waktu me time.

Ah apa boleh buat. Kalau kata nobita.

15:30 PM
Jl. Angkasa Raya.

Jalan ini bukan sengaja aku lewati, setiap hari aku memang harus melewati jalan ini. Yang artinya setiap hari aku akan lewat rumah Rain dua kali. Saat pergi dan pulang sekolah, belum lagi kalau ada acara mengantar bunda. Bisa lebih.

Mataku ini entah jahil entah genit. Tapi setiap kali aku lewat rumah berpagar hitam itu, pasti saja meliriknya. Atau bahkan tak jarang aku berhenti diseberangnya hanya untuk menebak apakah Rain ada dirumah atau tidak. Aneh memang.

Kata orang sih, ini namanya jatuh cinta.

Ah tapi aku tak percaya.

***

Aku mengendarai Tobias dengan malas. Pandanganku mulai beredar ketika memasuki jalan Angkasa Raya. Didepan sana ada bangunan kokoh dengan pagar hitam menjulang.

Tunggu.

Oh tuhan, pemandangan ini ku lihat lagi.

Aku mendapati Rain baru saja sampai diantar pria menyebalkan itu, Gevin.

Aku sengaja memperlamban laju tobias untuk melihat apa yang terjadi.

Sial. Si bodoh itu ikut masuk ke rumah Rain.

Sudahlah mari pulang, bunda telah menunggu.

***

Ting nong

Aku memencet bel rumahku yang saat itu sangat sepi. Seperti tak berpenghuni.

"Pada kemana nih." ucapku pada diri sendiri.

Pintu kayu berwarna putih itu akhirnya terbuka. Wanita tak asing keluar dari sana.

"Halo anak bunda." sapa bunda ramah kemudian menciumku.

"Halo bunda." kataku lemas sambil melangkahkan kaki ke dalam.

"Kenapa sayang kok lemes gitu?"

Aku hanya menggeleng.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang