"Percuma gue lari ngejar lo, kalo lo juga ikut lari."
🍁🍀🍁
"Meiysa?" tiba-tiba seseorang memanggil, dia Nia... ketua kelas di kelasnya."Bawakan ini ke perpus ya, lo kan komite perpus."
"Ok," sahut Meisya pelan, gadis bernama Nia itu langsung saja menumpuk 15 buku paket bahasa inggris di atas lengan Meisya.
"Thanks, ya!" ucap gadis itu dan kemudian pergi, dia pergi membiarkan Meisya kesulitan menempa buku-buku itu.
Tapi, set... tiba-tiba saja 12 buku terangkat dari lengannya. Meisya langsung mendongak menatap orang yang telah mengambil buku – buku itu. Rio, dia Rio.
Tanpa kata Rio langsung melangkah pergi menuju perpus, meninggalkan 3 buku di dekapan Meisya. Meisyapun berlari kecil mengikutinya.
"Gue bisa sendiri," ucap Meisya saat langkahnya sejajar dengan Rio, tapi cowok itu masih tak menggubrisnya.
"Gue bilang gue bisa sendiri," ucap Meisya lagi membuat Riopun berhenti, dan kini mulai menatapnya.
"Lo itu bodoh apa gimana sih, Mey? Lo hanya dimanfaatin sama mereka, apa masuk akal lo bawa 15 buku sekalipun ke perpus sendirian?" ucap Rio bernada kesal, Meisya terdiam sejenak.
"Gue juga heran, seolah semua hal di dunia ini terbalik. Gue hanya berniat baik, tapi orang lain bilang kalau gue bodoh," sahut Meisya masih tertunduk.
Rio mendecak kecil mendengarnya, dia meletakkan tumpukan buku di tangannya di kursi marmer yang ada di sepanjang koridor.
"Ok," sahut Rio pasrah dan pergi begitu saja, Meisya mengangkat tundukannya dan menatap punggung tinggi itu yang menjauh dan hilang.
"Hufftt," hembusan nafasnya menyembul poni yang menutup alisnya itu, lalu Meisya mengambil lagi buku di atas kursi tersebut dan membawanya sendiri ke perpustakaan.
🍁🍀🍁
"Kenapa lo bro?" seru Angga saat Rio hanya memutar-mutar sedotan di gelas yang terisi setengah jus jeruk, Rio tak menggubrisnya.
"Lo beneran naksir tuh cewek?" tanya Angga lagi, dan Rio tetap tak menggubris pertanyaannya itu.
"Heh, kenapa lo jadi galau gini sih?" kesal Angga sambil menarik gelas Rio itu.
"Gimana ya bilangnya, gue bingung," akhirnya Rio menyahut pela, dia menarik lagi gelas minumnya.
"Soal cewek batu itu, lo beneran serius suka sama dia?" Angga mengangkat alisnya.
"Gue gak pernah main-main soal cinta," sahut Rio menyeruput minumnya.
"Hahahahaa..." Angga malah tertawa mendengar ucapan Rio yang terdengar aneh bagi Angga.
"Lo beneran?"
"Bisa diem gak sih lo," potong Rio merasa jengkel.
"Kalo gue gak suka, gue ya gak suka. Tapi kalo gue udah terpaku buat suka, gue gak bisa pungkiri perasaan gue. Gini-gini gue juga cowok sejati soal cinta," dekte Rio pada Angga yang akhirnya berhenti mentertawakannya.
"Apa yang lo suka sih dari tuh cewek?" heran Angga masih tak mengerti.
"Lo gak tau kecantikan dia yang sebenarnya, dia berbeda."
"Ya, dia emang beda. Aneh," sambung Angga yang dilirik sinis oleh Rio.
"Dia gadis yang pertama kali gue lihat langsung bikin gue ngerasa kalo gue harus ada buat dia, setiap kepikiran soal dia, gue selalu ngerasa gue harus lindungi dia. Wajah merahnya, tundukannya, ekspresi malu dan sikapnya itu, mana bisa gue biarin cowok lain melihatnya," ucap Rio membuat Angga mulai serius mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Teen FictionAku ingin bercerita sebentar, tentang laki-laki bergitar putih itu. Dia yang telah menjadi pemeran utama dari cerita yang berawal dari gitar putihnya, cerita yang mungkin memang tercipta menjadi milik kita. Dia seperti matahari, terlalu menyilaukan...