Bagaimana caraku mengatakannya, jika tak satupun kata bisa aku katakan. Karena, mengatakan perasaan itu tidak mudah.
🍁🍀🍁
AUTHOR POVPagi ini seperti biasa, Meisya tertunduk menatap sepatunya sembari menunggu bus datang. Sesekali dia melirik jam tangan putih bermotif Baymax di lengan kirinya, entah kenapa hari ini bus begitu telat dari biasanya.
Brummm, terdengar suara deru motor yang kini berdiri tepat di depannya.
"Rio?" lirih Meisya sedikit membelalakkan mata bulatnya.
"Gue seneng lo panggil nama gue, serasa dapet vitamin D gue pagi ini," sahut Rio dengan tersenyum miring.
"Naik," pintanya lalu.
Meisya terdiam, ini hal yang membuat Rio selalu mendecak kesal sendiri.
"Mey, mulai hari ini lo berangkat bareng gue, gak ada yang harus lo kawatirin."
Meisya masih terdiam mendengar ucapan itu, hingga satu langkah tercipta. Meisya mulai menaiki motor merah itu, tangannya kini menggengga jaket hitam milik Rio.
🍁🍀🍁
"Mey?" Ara mendekat.
"Lo mau ke perpus?" tanyanya.
"Hm," sahut Meisya dengan anggukannya.
"Sorry banget ya, gue gak bisa temenin lo karena ada praktek di lab. Nanti pulang sekolah, gue baru bisa nemenin," serunya yang langsung di angguki oleh Meisya. Ara memang selalu ada menemaninya di perpus setiap jam istirahat, tapi tidak selalu kan dia harus menemaninya.
Kini Meisya melewati lorong yang berujung pada perpus, tapi... belum sempat kakinya menginjak tempat itu, beberapa suara menohok hatinya.
"Gue liat tadi pagi dia berangkat bareng Rio."
"Gue masih gak ngerti, kenapa Rio milih cewek kayak dia."
"Gue baru sadar, selera Rio jelek banget."
"Gue gak yakin tuh cewek pantas dapetin Rio."
Meisya mulai menarik tundukannya semakin dalam, tapi tiba-tiba sebuah benda menempel di telinganya. Meisya mengangkat tundukannya saat alunan musik menyentuh indera pendengarannya, dan sentuhan tangan mengisi setiap sela jarinya.Sebuah tarikan tercipta dari genggaman tangan itu, kini sebuah headset hitam menangkup kedua telinganya dan dia... Rio yang kini menggenggamnya berjalan di sapingnya dengan tenang, menarik Meisya melangkah lebih cepat meninggalkan lidah tak berpendidikan itu.
Kini mereka sudah berada di dalam perpustakaan, sangat sepi seperti biasanya. Bu perpus hanya tersenyum jail menatap Meisya dan memilih pergi meninggalkan perpus untuk makan siang, Rio kini membawanya duduk di meja baca yang panjang.
Meisya perlahan melepas headset hitam itu dan mulai menatap Rio yang duduk tepat di depannya, mata teduh itu terlihat datar.
"Mereka bikin gue makin kawatir, jangan dengerin semua omongan mereka," celetuk Rio dengan wajah temboknya itu, Meisya masih menatap wajah Rio, tatapan itu menjelaskan semua ucapannya barusan.
"Hem," sahut Meisya sambil mengangguk, setarik senyuman terlintas di wajahnya.
Rio tersenyum simpul, lalu berdiri mendekati sebuah rak buku di pojok. Dia mulai menata buku-buku di sana, Meisya masih terduduk memandanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Teen FictionAku ingin bercerita sebentar, tentang laki-laki bergitar putih itu. Dia yang telah menjadi pemeran utama dari cerita yang berawal dari gitar putihnya, cerita yang mungkin memang tercipta menjadi milik kita. Dia seperti matahari, terlalu menyilaukan...