“Papa membesarkanmu bukan untuk membantah apa kata papa!” suara keras itu menghuni rumah megah ini, isakan tangis seorang perempuan turut menyertai.“Papa menuntutku untuk menuruti apa mau papa, tapi apa papa bisa mengerti dan mendengarkanku sebentar saja?” lirih Rio memberanikan diri untuk bicara.
“Berapa kali papa bilang, ini untuk masa depanmu Rio!”
“Sejak kapan papa peduli? Sejak kapan papa kawatir dengan masa depanku, he? Selama ini papa kemana aja? Sibuk kerja? Apa kerja menjadi senjata papa untuk menyangkal? Apa papa tak pernah memikirkanku sebentar saja? Setiap akhir semester, aku selalu sibuk cari alasan agar guru-guru tak terus menanyaiku siapa yang mengambil raportku. Tapi apa papa peduli saat seperti itu? Lalu sekarang, tiba-tiba papa memintaku mengurus semua pekerjaan papa? Bukankah ini terdengar begitu egois?” Rio mulai bicara dengan bibirnya yang gemetar, mamanya hanya bisa berdiri di sampingnya terus membelai bahu Rio.
Papa Rio bungkam sejenak, namun seluruh wajahnya itu telah memerah karena emosi.
“Aku akan menjadi pewaris perusahan papa, tapi bukan sekarang atau setelah lulus, Pa. Aku juga punya mimpi lain, tak bisakah aku mewujudkan mimpi itu dulu?” lirih Rio pelan dengan tatapan lurus ke papanya, dan akhirnya ia pergi menyahut tasnya dan berangkat ke sekolah. Membiarkan papanya yang terbungkam itu.
🍁🍀🍁
“Rio!” Meisya memanggil cowok bertubuh tinggi yang sedang berjalan di koridor, yang dipanggilpun menoleh ke belakang.
Senyumannya mengembang saat melihat Meisyalah yang memanggilnya. Dia membiarkan gadis itu yang mendekatinya.
“Bagaimana dengan papamu?” tanya Meisya sambil mulai berjalan di sampingnya.
“Aku sudah mengatakannya lagi,” lirih Rio pelan namun nada bicaranya terdengar kecewa.
“Lalu?”
“Pagi ini adalah pertama kalinya kita sarapan bareng, dan itu juga menjadi sarapan terburuk.”
Meisya terdiam mendengar itu, Rio masih berjalan santai tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Hanya datar dan sedikit sulit ditebak, tapi Meisya bisa melihat kekecewaan dalam sorot mata Rio.
“Rio,” panggil Meisya pelan dan menghentikan langkahnya, Riopun menghentikan langkahnya dan menoleh.
Meisya masih menatapnya, perlahan ia menepuk pelan bahu Rio.
“Aku yakin, papamu akan mengerti,” lirih Meisya dengan tersenyum simpul, Rio menarik senyumannya singkat. Lalu ia mengangguk pelan, “Ke kelaslah dulu, aku mau ke ruang musik.”
MEISYA POV
Jika bukan aku yang mendukungnya, lalu siapa lagi? Dia memang memilki banyak penggemar yang memberikan cinta berlebih-lebih. Tapi akulah orang yang paling dekat dengannya, aku telah menjadi orang yang paling mengenal dia. Karena itu, aku akan mencoba meringankan bebannya ini. Seperti dia, yang selalu membiarkanku bersandar dalam bahunya.Hari ini, sepulang sekolah. Aku diam-diam menemui papa Rio, tentu Rio tak tau soal ini. Aku sengaja, karena mungkin aku bisa membantunya dengan melakukan sesuatu untuknya.
Aku datang ke kantor papanya yang berada di pusat kota, mungkin sekarang Rio sedang sibuk mencariku di perpustakaan. Maaf Rio, aku terpaksa berbohong dan pergi dulu kali ini.
“Apa saya bisa bertemu dengan Bapak Samsul?”“Tunggu sebentar.”
Aku sedikit gemetar, jujur.
“Apa anda sudah membuat janji dengan beliau?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Teen FictionAku ingin bercerita sebentar, tentang laki-laki bergitar putih itu. Dia yang telah menjadi pemeran utama dari cerita yang berawal dari gitar putihnya, cerita yang mungkin memang tercipta menjadi milik kita. Dia seperti matahari, terlalu menyilaukan...