Apa Harus Pergi?

998 61 5
                                    

Hari senin tiba, setelah di minggu kemarin menjadi hari berharga untuk Rio. Tapi sepertinya hari ini Rio tidak masuk sekolah karena butuh istirahat, dia sendiri yang bilang pada Meisya kemarin malam sepulang dari audisi. Meisyapun memahaminya, dan rasanya sekarang hubungan mereka semakin rekat dan normal.

Masalahnya masih sama, kakunya Meisya untuk mengutarakan perasaannya. Itulah hal sulit bagi Meisya, karena tak semua hati bisa bicara mendektekan cinta dengan mudah.

Pagi ini Meisya langsung ke kelasnya tanpa menengok perpus, karena hari senin bukan jadwalnya pagi ini. Tapi, seperti biasa, dia harus cepat-cepat bersiap ke lapangan untuk upacara senin, cuaca cukup cerah dan Meisya harap tidak begitu panas. Meisya mungkin tak suka hujan, tapi dia lebih tak suka lagi dengan panas. Itulah mengapa mungkin memang pantas dia dipanggil gadis mendung.

"Mey!" suara khas Ara membuat Meisya menoleh, di lorong kelas itupun ia melihat Ara yang berlari mendekatinya. Mereka berduapun menuju lapangan bersama.

"Gue denger Rio menang ya?"

"Hm," Meisya mengangguk dengan senyuman cerahnya.

"Wahhh, siap-siap deh, Mey."

"Siap-siap untuk apa?"

"Untuk sering ditinggalin Rio, selagi dia mau debut pasti kan bakal semakin sibuk," papar Ara membuat Meisya tersadar mengapa dia tak kepikiran akan hal itu.

"Bagus dong, semakin dia sibuk berarti dia semakin berhasil," sahut Meisya mencoba berpikir positif dan mengambil sisi baiknya.

"Ya juga sih, tapi apa lo betah? Pasti rasanya kayak jadi istri tentara, sering ditinggalin."

"Itu sih tergantung yang ngejalanin," sahut Meisya sambil menunduk.

"Gue rasa lo benar-benar telah jatuh cinta, bagaimanapun juga gue juga pernah mencintainya. Jadi, gue pingin lo jaga dia untuk gue. Tetaplah bersama Rio, Mey."

Meisya menghentikan langkahnya dan menatap lekat Ara.

"Gue gak bermaksud mojokin perasaan lo kok Mey, cinta ya cinta, dan sahabat tetaplah sahabat. Gak ada hubungannya sama sekali, karena gue gak mau hanya karena cinta persahabatan hancur. lagipula, gue udah lepasin cinta masa lalu gue kok," ucap Ara melihat Meisya yang menatapnya dalam tanpa kata.

"Lo bikin gue ngrasa gak enak," sahut Meisya sambil berjalan lagi.

"Ngomong apa sih lo, rasa sakit saat melepaskan seseorang gak ada bandingannya dengan kebahagiaan saat ngelihat orang itu bahagia. Jadi, kalo dia bahagia sama lo gue ikut bahagia, terutama kalau lo adalah sahabat gue. Karena guepun percaya, pilihan Rio gak akan salah," lanjut Ara, baru kali ini Meisya melihat sisi dewasa dari gadis ini.

"Sok puitis lo!" tiba-tiba Angga lewat dari arah belakang dan menyenggol bahu Ara dengan sengaja.

"Weh Woy! Dasar nguping lo! Curut Got!!!" teriak Ara dengan suara cemprengnya, Meisya mulai terkekeh geli.

Kehidupan membuat Meisya terus berpikir, dan sekarang ia berpikir lagi ternyata, ada orang yang begitu peduli dengan kebahagaiaannya. Aralah orangnya.

🍁🍀🍁

Meisya berjalan lengah di samping Ara setelah upacara selesai, peluh menetes di pelipisnya karena cuaca memang semakin menyengat. Ditambah lagi setelah ini pelajaran matematika, rasanya pingin pulang aja.

Jam matematika yang berlangsung itu terasa sangat membosankan, antara lelah dan gerah tapi masih harus mikir rumus-rumus tak berperasaan itu.

Ndrrrttt... ditengah pelajaran, tiba-tiba ponsel Meisya bergetar. Sembunyi-sembunyi Meisya membukanya, ada satu pesan dari Rio. Mata Meisya melirik ke arah guru yang sedang menjelaskan di depan itu, perlahan ia menarik buku untuk menutupi ponselnya.

Bukan Pemeran Utama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang