Bukti

1.1K 75 11
                                    

Budayakan vote sebelum membaca ya 😊

RIO POV

Dering alarm bikin gue terbangun seketika, semburat cahaya pagi menerobos masuk kedalam kamar lewat pori-pori kelambu di jendela. Agak malas gue turun dari ranjang dan membuka jendela untuk membiarkan cahaya pagi itu mengisi ruangan bercat hitam ini.

Gue emang menyukai hitam, tapi hidup gue gak sesuram itu. Dan gue semakin ngerasa yakin bahwa gue bahagia, cukup dengan bersamanya. Kelinci putihku, Meisya.

Mengingat namanya aja bikin gue senyum-senyum gak jelas, mungkin gue emang telah dibuat gila olehnya. Persetan opini mereka, gue gak peduli karena yang gue peduliin hanya Meisya.

Ok, pagi ini gue mau siap-siap untuk ke rumah sobat se-Band gue buat ijin absen latihan hari ini, karena gue udah janjian sama Meisya untuk mengisi hari minggu bersama.

"Nak Rio? Bibi udah siapin sarapannya!" teriakan Bi Minah terdengar samapai kamar gue, tanpa menjawab gue turun menghampirinya.

Di meja makan sudah tersedia beberapa menu untuk sarapan pagi ini, tapi rasanya percuma saja makanan itu ada kalau gak semuanya bisa gue makan habis. Di sana ada 4 kursi yang saling berhadapan, tapi selalu hanya satu yang terisi. Gue selalu makan sendiri.

"Nak Rio, ini ada titipan uang saku dari Nyonya, dan kata Tuan sudah mentransfer bebera uang juga di ATM Nak Rio," ucap Bi Minah disela gue mengunyah makanan ini, sekejab rasanya menjadi hambar.

"Aku masih ada uang Bi, kembalikan itu semua dan tanyakan pada mereka kapan mereka datang ke sini?."

Bi Minah hanya terdiam masih menggenggam amplop putih itu, gue bener-bener muak hidup seperti ini. Bukan uang yang gue mau.

Gue di rumah ini emang tinggal sendiri, tapi biasanya Bi Minah emang sering ke sini pagi-pagi buat nyiapin sarapan atau ngasih titipan.

" Uangnya sudah papa transfer, bukan itu yang ingin gue denger. Gue lebih ingin denger, mereka bilang hati-hati di jalan, jangan nakal di sekolah, belajar yang bener, atau sekedar mengucapkan selamat pagi."

🍁🍀🍁

Jam tangan gue menunjuk pukul 9 pagi, gue sudah berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. Terlihat sepi.

Tingtong... tak ada sahutan dari dalam, gue mencoba mengetuk pintu itu sekarang.

"Cari siapa ya?" tiba-tiba seorang wanita setengah baya membukakannya.

"Meisyanya ada, Tan?" wanita itu terlihat bingung mendengar pertanyaan gue, tapi tak lama dia mengangguk dan tersenyum simple.

"Masuklah," pintanya.

Gue duduk di ruang tamu yang terlihat rapi dan megah, sepertinya wanita itu sekarang sedang memanggil Meisya di dalam. Karena tak lama Meisya keluar dengan penampilan rapinya tapi terlihat santai. Mamanya juga membuntutinya di belakang. Gue langsung berdiri saat dia mendekat.

"Langsung pergi sekarang?"

Dia mengangguk lalu menoleh mamanya.

"Tante, saya ijin bawa putri Tante jalan-jalan sebentar ya?" ucap gue dengan mencium tangannya, awalnya gue pikir nyokap Meisya sedikit kaku karena sedari tadi cuma diem doang. Tapi saat gue menyalami tangannya senyum ramahnya merekah seketika.

"Jaga Meisya ya, dia jarang keluar. Dan nanti pulangnya jangan kemaleman," kalimat itu gue denger dengan sangat lembut dan kalem, ternyata sifat Meisya ini memang menurun dari ibunya.

Setelah Meisya mencium tangan nyokapnya, kamipun bergegas pergi. Sebenernya gue sama sekali gak punya rencana mau kemana, tapi Meisya bilang dia ingin ke puncak. Rasanya radak aneh, karena yang dia minta bukanlah tempat-tempat mewah atau romantis. Tapi hal seperti inilah yang gue suka darinya, dia apa adanya dan sangat berbeda dari cewek yang pernah gue nilai sejauh ini.

Bukan Pemeran Utama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang