.Kenyataan yang seharusnya adalah, cowok yang mengejar, bukan cewek.🍁🍀🍁
Sinar mentari siang ini membuat Meisya menyipitkan mata sekeluarnya dari perpustakaan yang suram itu, dia masih mengenakan nametag komite perpustakaan yang tergantung di lehernya. Wajahnya terlihat lelah, dengan tangan yang mendekap sebuah buku tebal. Sebelum melanjutkan langkahnya, gadis ini melepas nametage itu, dan memasukkannya pada saku roknya.
Dia sendiri, selalu sendiri. Jarang tersenyum, dan jarang pula bicara. Sering keluar masuk perpustakaan, dan sering tertunduk. Seperti saat ini, dia melewati lorong panjang dengan tertunduk menatap sepatunya. Dan...
BRUKKK! Langkahnya yang berirama itu tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan saat dorongan keras menghantam tubuh mungilnya, kini tubuhnya telah menyatu dengan lantai.
"Sorry," seru seseorang di sampingnya, lebih tepatnya seseorang yang telah menabraknya.
Cowok dengan tinggi 183cm itu mengulurkan tangannya berniat membantu Meisya, tapi tak ada respon cukup lama dari Meisya. Hanya terdengar hembusan nafas kecil dari bibirnya, ia langsung berdiri sendiri tanpa menerima bantuan cowok tinggi itu.
Berdiri, dan langsung pergi. Itulah yang terjadi, hal ini menjadi sorotan beberapa mata. Bagaimana tidak, jika kejadian ini dilakoni oleh cowok tampan seperti Rio.
Rio masih menatap punggung gadis yang pergi dan terus tertunduk itu, dalam tatapan Rio tersirat satu pemikiran yang berbeda.
"Siapa tuh cewek?" tanya Rio pada sahabatnya yang kini berdiri di sampingnya, Angga.
"Dia Meisya, anak IPS-2. Gak usah dipikir deh, tuh cewek emang kek gitu. Aneh," jawab Angga sambil memberi peringatan pada Rio, tapi Rio malah menyincing senyum miringnya.
.
.
.
"Menurut gue, dia cukup menarik."
🍁🍀🍁
Meisya kembali bertemu dengan hangatnya mentari pagi, dengan tas ransel putih tulangnya itu ia berjalan tertunduk di lorong menuju kelasnya.
Langkahnya perlahan melamban, saat beberapa huruf membuat otaknya harus mengeja. Cibiran yang terdengar jelas merusak paginya, dan ini membuatnya sedikit terganggu.
"Ya, dia orangnya."
"Gadis itu yang ditabrak Rio kemaren."
"Sok jual mahal."
"Gue mah kalau jadi dia, pasti senenglah ditabrak cowok kayak Rio."
"Sok cantik, dasar munafik."
Meisya sedikit mengangkat tundukannya, sepanjang lorong koridor ini semua mata memperhatikannya.
Sejenak dia merasa menjadi artis papan atas, yang sedang berjalan di karpet merah. Karena semua mata tertuju padanya dengan berbagai macam pandangan.
Meisya masih terus melanjutkan langkahnya, dia melewati satu ruang kelas di mana tepat di dalam sana Rio berada.
Meisya melewati kelas itu begitu saja, menutup telinga dan mata tentang mereka.
Perlahan Rio keluar dan memperhatikan kembali Meisya yang terus berjalan, punggungnya itu masih ditatap lekat oleh Rio. Senyuman simpul tersungging manis di ujung bibir Rio.
Rio baru tau, ada gadis yang seperti Meisya. Dia gadis mendung yang selalu tertunduk, mencintai pagi dan senja, tapi membenci panas. Menyukai udara dingin, tapi membenci hujan.
🍁🍀🍁
Tepat pukul 4 sore, jam pulang berbunyi. Meisya segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, dan bergegas menuju perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku. Mau tidak mau, dia akan tetap melewati lorong dan kelas itu.
Langkahnya terus berketuk, tundukannyapun masih tetap sama.
Seorang Rio yang memang sedang menunggunya lewat, kini berdiri manis di ambang pintu kelasnya, diapun melihat gadis tertunduk ini melewatinya begitu saja. Diam-diam Rio mengikutinya.
Meisya merapikan beberapa buku yang dipinjamnya, lalu berpamitan pada wanita separuh baya penjaga perpustakaan itu. Sekeluarnya dia dari perpus, sosok Rio telah berdiri tepat di tembok perpustakaan ini. Meisya hanya menatapnya sekilas, dan mulai berjalan menghiraukannya.
"Meisya?" panggil Rio membuat Meisya berhenti sejenak, dia melirik seinci sebentar dan kembali melanjutkan langkahnya lagi.
Tapi Rio tiba-tiba saja berdiri di depannya, mencoba untuk menghalangi langkahnya itu. Terdengar hembusan napas kecil, dan akhirnya mata mereka bertemu.
"Sorry yang kemaren," ucap Rio membuka pembicaraan, wajah tenang Meisya masih tak berubah.
"Boleh kita berteman?" ucap Rio sambil dengan senyuman dan satu alis yang terangkat, Meisya tak merespon apapun, dia bergeser ke samping untuk mencari celah melewati Rio, dan pergi tanpa kata. Rio hanya berbalik dengan senyuman heran yang sedikit sulit ditebak.
"Meisya? Kalo gitu, boleh gak gue suka sama lo?" teriak Rio tiba-tiba, suaranya itu menggema seisi lorong perpustakaan. Senyuman renyah menghias bibirnya, tatapannya itu masih menatap gadis yang terus melanjutkan langkahnya tanpa berhenti walaupun dia mendengarnya.
🍁🍀🍁
Hai semua,
Aku coba lanjut deh..
Ditunggu respond kalian...Tetap berikan krisar, comment and vote nya ya....
Untuk Rio ke teman-temannya memang pakek logat lo-gue, tpi untuk ke Meisya logat aku-kamu yg berlaku..
Simpan Say it di library kamu ya dan tunggu kelanjutannya..
Terimakasih,
😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
TienerfictieAku ingin bercerita sebentar, tentang laki-laki bergitar putih itu. Dia yang telah menjadi pemeran utama dari cerita yang berawal dari gitar putihnya, cerita yang mungkin memang tercipta menjadi milik kita. Dia seperti matahari, terlalu menyilaukan...