RIO POV
Dia mengajakku ke toko buku, sebenernya aku udah terlalu eneg liat buku. Tapi kelinci putihku ini gak bosen-bosennya berurusan dengan buku, seperti saat ini, Meisya sedang mondar-mandir di rak buku yang memasang tumpukan novel-novel.
Aku melihatnya kini yang sedang kebingungan menatap dua buku di tangan kiri dan kanannya, aku mencoba mendekatinya.
"Kenapa?"
"Beli yang mana ya? Bingung," lirihnya bimbang, aku hanya bisa tersenyum melihat ekspresinya itu. Tanpa kata lagi, aku mengambil dua buku itu dari tangannya.
"Beli dua-duanya aja," sahutku sambil berjalan ke arah kasir, dia melongo sejenak.
Aku menyodorkan lagi dua buku itu yang sudah terbungkus kantong dengan rapi.
"Aku meminta pendapatmu, bukannya minta dibelikan," protesnya di depanku.
Aku tak menyahut apa-apa, kurangkul pundak mungilnya itu dan mengajaknya ke sebuah tempat. Dia gadis yang cukup penurut, dan tetap berjalan di sampingku.
Saat motorku berhenti di sebuah toko, dia menepuk pundakku dari belakang.
"Ngapain ke sini?"
"Beli boneka-lah," sahutku tersenyum miring, tapi dia enggan turun dari motorku. Aku meliriknya dari kaca spionku.
"Gak suka boneka?" tanyaku, dia menggeleng.
Shit! Gue salah mengira, ternyata ada juga cewek yang gak suka boneka. Rencana gue bikin dia seneng gagal, dong?
"Terus sekarang mau kemana enaknya?" aku mencoba menawarkannya.
"Ke puncak aja, yuk. Aku gak suka keramaian," jawabnya, aku hanya mengangguk dan menjalankan kembali motorku ke tempat yang ia mau.
Dalam perjalanan aku mikir, aku ngerasa beruntung dapetin dia. Bukan siapa yang terlihat baik di mata orang lain, tapi siapa yang buat aku ngerasa lebih baik dan nyaman. Dan aku bisa temuin semua hal itu di dalam diri Meisya, dia memang si batu, gadis mendung yang kuanggap sebagai kelinci putih yang berhasil meloncati hatiku itu.
Meisya, nama singkat yang telah terukir di dinding bilik hati yang kuharap akan selalu mengisi setiap hariku.
🍁🍀🍁
Kami sampai di puncak, di bawah pohon sukun tempat Meisya berteduh. Aku baru saja membelikan minuman dingin untuknya, akupun mencoba duduk di sampingnya.
Melihatnya tersenyum atas kedatanganku, membuatku bahagia. Teringat dulu, saat dia selalu menghindar tiap kali aku mendekatinya. seperti kelinci, yang selalu lari tiap kudekati.
Tapi sekarang, dialah kelinci putihku.
"Huftttt, bulan depan ujian datang." Dia berseru di sampingku dengan pandangannya yang menatap lurus ke depan, aku hanya tersenyum simpul mendengarnya.
"Setelah ujian, aku akan masuk universitas yang sama denganmu, lalu aku akan meneruskan perusahaan papa bersamamu," ucapku, dia menoleh dengan kerutan di keningnya.
"Denganku?" ulangnya heran, aku mengangguk.
"Emangnya kamu gak mau nikah sama aku? Aku udah rencanain, setelah lulus kuliah nanti aku akan menemui mamamu untuk menjadikanmu seutuhnya milikku," tambahku, dia menarik pandangannya dan tertunduk menyembunyik pipinya yang cantik bersemu itu.
Aku menggenggam tangan mungilnya itu, dia kembali menolehku.
"Aku akan terus bersamamu sebisaku, karena itu... mau nggak berjuang denganku? Untuk kita?"
Meisya begitu dalam menatapku, apa ucapanku terlalu dramatis????
Tapi tak lama senyumannya mengembang, anggukan kecilnya membuatku merasa tenang.
"Berjanjilah, 10 tahun lagi, kita akan ke tempat ini bersama. Seperti sekarang," pintaku.
"Sepuluh tahun lagi???" dia terlihat heran, aku mengangguk mantap.
"Ya! 10 tahun lagi, jika kita bisa saling menjaga. Kita bisa kesini lagi bersama, denganmu... sebagai istriku," ucapku serius, dua mata indah di depanku itu hanya berkedip beberapa kali.
Aku sungguh tak tahan melihat wajahnya yang telah bersemu merah, kurangkuh kepalanya ke dalam pelukanku.
Dia gadis yang kukenal saat menabrakku di lorong kelas waktu itu, gadis yang selalu menolak menjadi temanku, gadis yang terus tertunduk setiap aku menatapnya. hingga sekarang, dia tetap menjadi kelinci putih, yang terus mendampingiku.
Dalam mendungnya, dia memiliki kelembutan yang tersembunyi. Kelembutan yang mampu membuatku hanya untuk menatap dia, hal yang membuatku selalu ingin di dekatnya, menjaganya, dan hanya bersamanya saja.
Dia Meisya, kelinci putihku. Tak ada yang tau akan seperti apa cerita kita ke depannya, namun harapanku padanya akan tetap sama. bisa menggenggamnya dan terus di sampingnya, aku tak akan mudah melepaskan apa yang telah aku perjuangkan.
Dia yang tau tentangku, dia yang mengenalku, dan dialah yang terus menegurku. Senyumnya, tawanya, tundukannya, semua tentangnya akan terus menjadi milikku. Dia seperti diary, yang selalu ada di sampingku. Dari titik awal, hingga saat ini dialah saksi bisu dari perjuanganku. Dia yang menemaniku saat gemetar di dalam audisi, dia yang memarahiku karena aku berfoto dengan Millan saat di Jogja, dia yang menunjukkan perasaannya dengan unik, dialah... yang tetap bertahan menerima sifatku.
Semua orang punya cerita cintanya masing-masing, bukankah begitu?
Aku akan terus bersamanya, aku yang akan menangkup wajahnya kala ia tertunduk. Aku, akan selalu menjaga kelinci putihku.
~END~
🍁🍀🍁
Cuma mau bilang, terimakasih banyak... 😊🙇😃😇
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Roman pour AdolescentsAku ingin bercerita sebentar, tentang laki-laki bergitar putih itu. Dia yang telah menjadi pemeran utama dari cerita yang berawal dari gitar putihnya, cerita yang mungkin memang tercipta menjadi milik kita. Dia seperti matahari, terlalu menyilaukan...