Mungkin cinta memang tak diukur oleh waktu, tapi bagiku... cinta perlu waktu untuk bisa terdekte oleh hati.
🍁🍀🍁
AUTHOR POVMeisya langsung menunduk kembali, dua tangan lembut itu masih menangkup pipinya.
"Tidak untuk sekarang," ucap Meisya pelan dalam tundukannya, tangan Rio terlepas dari wajahnya.
"Kenapa?" tanya Rio terdengar parau, Meisya mengangkat tundukannya dan menatap iris hitam di depannya.
"Apa harus gue jawab?" Meisya malah bertanya balik, tapi ini bukanlah pertanyaan, lebih terdengar sebuah kode penolakan yang berwujud lebih lembut.
Rio kini yang menunduk, seperti ada sesuatu yang bergelut dalam pikirannya. Tapi akhirnya dia kembali menatap Meisya, lekuk wajah indahnya itu tak mampu Meisya tatap terlalu lama.
"Mungkin tidak untuk sekarang, tapi gue akan nunggu. Gue harap lo gak biarin gue nunggu terlalu lama, karena setiap hati gue rasa ada batasannya." Lirih Rio dengan nada yang meremas seluruh bilik hati Meisya.
Entah kenapa, Meisya jauh merasa terluka.
🍁🍀🍁
Hembusan angin menyentuh rambut panjangnya, sebuah kotak bekal terpangku di depannya. Lamunannya merajai setiap lekukan dipikirannya, dan semua itu tertokoh utamai oleh Rio.
Hati Meisya kini seolah berada di tengah lautan yang luas tanpa tepi, terombang-ambing sendiri.
"Mey," tiba-tiba suara khas itu menyembul lamunannya, saat dia toleh. Cowok tinggi berjaket hitam itu berdiri tepat di sampingnya. Wajahnya cerah, seolah tak pernah terjadi sesuatu kemaren padanya.
Meisya menarik tundukannya, dia rasa kini Rio mengambil alih duduk di sampingnya.
"Gue cuma mau bilang, jangan lakukan apapun."
Meisya menolehnya, ucapan itu seperti peringatan baginya.
"Untuk jawaban lo, mungkin gue bisa menunggu. Tapi jangan pernah menghindar dari gue, gue gak akan bisa dengan sikap lo itu. Jangan lakukan apapun, tetaplah seperti ini dan bairkan gue nyampaikan perasaan gue dengan cara gue sendiri," ujar Rio dengan tatapan teduhnya, Meisya masih tertunduk tapi anggukan kecil darinya membuat Rio tersenyum renyah kini.
"Ok, besok gue manggung di acara ultah sekolah, lo harus dateng," seru Rio yang tak dijawab oleh Meisya, cowok tinggi ini hanya mengacak pelan rambut Meisya dan beranjak pergi.
Meisya mengangkat tundukannya, menatap langkah besar laki-laki yang baru saja menggetarkan seisi hatinya.
Sebelum bel masuk mengusirnya dari tempat ini, Meisya bergegas lebih dulu menuju kelasnya.
Koridor sekolah bertingkat empat ini sedikit menakutkan karena ukurannya yang megah, bagaiamanapun bercorak cat cerah tapi tetap saja, suasananya cukup mencekam untuk daerah lantai empat ini.
Meisya menuju lantai empat karena jam terakhir kali ini menempati ruang musik di lantai empat untuk pelajaran musik, lagkahnya terus berketuk dengan lantai putih yang sedikit mengusam.
"Eh?" tiba-tiba ia berseru saat cengkeraman erat melingkar di lengan kirinya, Meisya menoleh diang dari perbuatannya ini.
Seorang gadis berambut panjang hampir sama sepertinya, dengan lensa mata terbalut softlens cokelat menariknya untuk menepi di sepanjag koridor.
"Apa hubungan lo sama Rio?"
Meisya terdiam rapat saat lagi-lagi dia harus mendengar nama Rio dari setiap mulut yang mengancamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
Teen FictionAku ingin bercerita sebentar, tentang laki-laki bergitar putih itu. Dia yang telah menjadi pemeran utama dari cerita yang berawal dari gitar putihnya, cerita yang mungkin memang tercipta menjadi milik kita. Dia seperti matahari, terlalu menyilaukan...