Bahagiaku ketika melihat senyummu. Sedihku ketika melihat tangismu. Deritaku ketika tak bisa melihatmu.
Rangga dan Seruni sedang menonton televisi di rumah Seruni, namun Rangga tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari perempuan yang kini duduk disebalahnya. Ia mengucap syukur berkali-kali dalam hatinya saat sadar bahwa ini bukan mimpi.
Belum—mereka belum menikah. Tapi, rutinitas seperti ini sedang Rangga lakukan hampir setiap hari. Ngapel, begitu istilahnya. Seperti remaja-remaja umumnya yang senang saat pacarnya datang, Seruni pun menunjukkan kebahagiaannya.
Sejak Rangga mengajak Seruni untuk makan malam di Restoran Italia, setiap malamnya Rangga datang. Entah hanya untuk mengajak menonton televisi, mengobrol tentang dede bayi, atau menganggu Leo yang mencibir kesal karena selalu melihat Rangga di ruang tamunya.
"Jangan ngelakuin yang iya-iya, Rang." Leo langsung terjun untuk duduk di sebelah Seruni.
Rangga memandang kesal penganggu yang datang itu. "Ngapain, sih?"
Seruni hanya tersenyum melihat dua laki-laki yang ia sayangi saling melempar tatapan tajam, saling ingin memangsa kalau tak ada dirinya di tengah-tengah mereka.
"Lo masih punya utang sama gue," kata Leo kesal.
Rangga mendengus. Ya, dia ingat dia punya hutang yang sangat mahal. Bahkan, hutangnya itu melebihi gajinya selama sebulan. Bayangan gajinya yang akan ludes dalam sekejap demi perjanjiannya dengan Leo membuatnya sakit kepala. Ia memegangi pelipisnya sendiri, memijitnya pelan.
"Ngga usah sok pusing," kata Leo santai. Kali ini ia sudah meluruskan kakinya ke depan, tangannya dilipat di atas kepalanya, dan menikmati acara yang sedang tayang. Sinetron Dunia Terbalik.
"Gue kan belom gajian, sabar kenapa," kata Rangga yang sudah selesai memijat pelipisnya.
Seruni menoleh pada Serangga dengan tatapan bertanya, namun Rangga enggan menjawab. Bisa turun harga dirinya, bisa hilang ekspektasi tentang Rangga yang romantis jika ia menceritakan semuanya.
Namun, tujuh belas juta bukan angka yang sedikit. Gajinya perbulan saja hanya sepuluh juta. Walaupun dia anak pemilik perusahaan, tapi Rangga=kan memmulai dari bawah. Gajinya selama ini bisa ia tabung seedikit karena dia harus bayar sewa apartemen dan segala kebutuhannya saat ia tidak tinggal di rumah orang tua-nya. Tapi, tujuh belas juta! Tujuh belas juta! Sialan.
Flashback ON
"Gimana? Gimana? Dia mau gue ajak jalan, ngga?" tanya Rangga antusias saat melihat Leo turun dari tangga. Setelah dari kamar Seruni.
Leo duduk di sebelah Rangga, meminum teh hangat yang dibuat untuk tamunya tanpa menjawab pertanyaan. Dia butuh minum, dia lelah ngomong panjang lebar menasihati adiknya.
"Gue tadi cuma bilang ada lo di bawah, gue ngga bilang kalian mau jalan."
"Ah, si bego," protes Rangga. "Gue nunggu setengah jam lebih, gue kira bakal dapet kepastian, kampret." Rangga memukul bahu Leo. Benar-benar kesal.
Orang tua Leo pergi ke ulang tahun salah satu rekan bisnis Papanya Leo. Jadi, selama menunggu itu, Rangga sendirian. Ibu dan Bapak Seruni sedang di rumah sakit. Bapaknya sakit batuk-batuk karena polusi dan udara Jakarta yang tak sesuai. Di rawat dari semalam.
Leo hanya melirik kesal pada sahabat yang duduk di sebelahnya, memandangnya dengan penuh kebencian. Tangannya sudah dikepal, walau tak akan melakukan apa-apa.
Mereka memang begitu. Selalu bikin emosi satu sama lain melonjak, mengumpat dengan kata-kata kasar, tapi tak direspon oleh lawannya. Entah mengalah, entah malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRS [1] : Night Accident ✅
RomanceIni tidak seperti dongeng Cinderella yang menghadiri pesta dansa, sepatunya tertinggal dan Pangeran mencarinya. Ini bukan tentang Belle yang dikurung dalam istana Pangeran Buruk Rupa lalu mereka berdansa dan saling mencintai. Ini tak serumit itu. In...