“Mau ngerjain tugasnya kapan, Far?” tanya Alan seusai cowok itu melepas helmnya dan melihat Farah yang sudah turun dari motornya.
“Terserah. Lo bisanya kapan?”
“Gue sih kapan aja bisa, selama sama elo,” goda Alan, lagi. Farah kian memberengut. Kenapa sih Alan nggak tahu situasi banget kalau mau ngegombal?
“Gue serius, Alan.” Farah mencoba menahan senyumnya muncul. Bisa-bisa Farah semakin dipojokin oleh Alan kalau cowok itu sampai tahu Farah sempat, hampir, atau mungkin sudah kebaperan.
“Iya. Bener, Far. Lagian rumah elo kan deket.”
Farah memanggut. Entah sudah ditakdirkan atau memang kebetulan, rumah Alan satu komplek dengan Farah. Dan kedua orangtuanya pun saling bersahabat. Apalagi mama Alan dan umi Farah, keduanya satu aliansi dalam membentuk kelompok arisan. Perusahan ayah Alan dan abi Farah pun punya kerja sama hitam di atas putih. Pokoknya, hidup Alan dan Farah benar-benar memberi kesempatan keduanya untuk terus bersama.
“Lo nggak ada acara MPK, 'kan?” tanya Farah mengintimidasi. Soalnya Farah kesal saja. Setiap janjian buat kerja kelompok, Alan selalu beralasan ada kumpul antara MPK dan OSIS. Dan cowok itu pasti beralibi; “Gue kan HUMAS, jadi gue harus selalu hadir buat bagiin informasi.”
Cuma HUMAS, 'kan? Bukan ketua? Alan kok rajin banget?
“Nggak ada,” jawab Alan. “Yaudah gue balik dulu ya, Far.”
Alan hendak memakai helmnya kembali dan Farah sudah memutar haluan. Tapi, sejurus kemudian Alan menahan Farah.
“Kenapa?” Farah berbalik.
“Jangan lupa jatah malem buat gue ya?” Alan mengedipkan sebelah matanya dan Farah sudah siap untuk menjitak kepala Alan. Namun, cowok itu sudah sigap memakai helmnya dan membuat Farah hanya bisa menggeram. Alan tersenyum dan menyalakan motor besarnya, lantas berlalu dari depan rumah Farah.
“Kok gue bisa suka sama cowok itu ya?” ujar Farah bermolog meratapi nasib hatinya untuk ke depan nanti.
**
“Assalamu’alaikum, Umi,” sapa Farah sambil mencium punggung tangan Kania --Umi Farah.
“Waalaikumsalam. Kamu habis dianterin siapa? Tadi umi kayak yang denger suara motor,” sahut Umi, lalu Farah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Alias, namanya Fathan. Adik Farah satu-satunya.
“Tadi dianter sama Alan, Mi,” jawab Farah sambil mencium-ciumi pipi gempal Fathan.
“Alan udah punya SIM?” Kini, tatapan Farah memandang Umi. Fathan sudah asyik menarik-narik rambut sepunggungnya Farah.
“Iya, katanya udah. Motornya juga bekas sepupunya Alan yang udah nikah, Mi.”
“Oh gitu,” sahut Umi mengangguk.
“Farah ke kamar dulu ya, Mi.” Farah menurunkan Fathan dan lekas menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Tapi, baru saja Farah menginjak anak tangga yang kedua, Umi kembali memanggil namanya. Farah berbalik. “Apa, Mi?”
Umi menghampiri Farah dengan Fathan yang sekarang ada di dalam gendongannya. “Besok Umi ada arisan, Far. Kamu di rumah, 'kan?”
“Farah ada kerkom sama Alan, Mi.”
“Yaudah, belajarnya di rumah ini aja. Gapapa?”
Farah terdiam sebentar. Ide Umi boleh juga. Lagian Farah malas banget harus ke rumah Alan yang ada di ujung komplek. Mending Alan ada motor. Farah cuma punya sepeda yang sudah lama berdebu karena kesibukannya sekolah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dermawan [COMPLETED]
Teen FictionFarah baper duluan ketika Alan terus saja menyapanya dengan panggilan jodoh. Belum lagi godaan-godaan cowok itu yang kadang bikin teman sekelas berpikir mereka punya hubungan spesial. Padahal, Farah yakin, Alan tidak pernah menyatakan suka padanya...