5

4.6K 257 2
                                    

Farah sedang mendengarkan lagu Zara Larsson-Sympony melalui earphonenya. Ia beberapa kali mengernyit mendengar suara heboh yang menggema di penjuru kelasnya. Farah yang tadinya terlelap karena ia malas mengerjakan tugas, lantas menguap. Ia duduk tegak kembali dan matanya langsung menyorot pada empat cowok yang sedang bersorak sorai sambil satu orang yang berada di tengah-tengah dirangkul erat oleh ketiga lainnya. Dan terus meneriaki nama Alan beberapa kali dengan tangan yang dikepalkan ke atas.

“Mereka mau ke mana?”

Tamara menoleh yang sebelumnya mempause film Korea yang sedang ditonton olehnya. Cewek itu berpaling pada arah tatapan Farah yang mengisyaratkan ke luar kelas.

“Oh empatan itu?” Tamara menengok kembali. Farah mengangguk dan melepaskan earphone kanannya.
“Mereka main ludo, trus Alan kalah. Kayaknya Alan mau dihukum sekarang.”

Dahi Farah bergelombang, bingung. “Dihukum apaan?”

“Jadi, yang kalah dari main ludo, harus dihukum. Entah lari atau hukuman lainnya. Gue nggak tahu jelas. Tapi, mereka ke luar kayaknya hukumannya di lapangan.”

Farah terkekeh. “Ada-ada aja. Main gituan harus ada hukuman.” Cewek itu lantas mengotak-ngotik ponselnya mencari lagu yang enak didengarkan lagi. Berusaha tidak terlihat acuh pada ide unik teman-teman cowoknya itu. Meski sebenarnya Farah penasaran pada nasib Alan. Toh, nanti juga Alan curhat. Jadi, Farah mencoba untuk memendam rasa penasarannya itu.

“Lo nggak mau liat Alan?” tanya Tamara membuat Farah menoleh dengan wajah heran. “Dia pasti disiksa abis-abisan. Mending lo liat dia, kasian. Lo tau kan Alan itu jarang main kayak begituan? Biasanya kan dia pacaran mulu sama elo atau nggak sama buku.”

Farah berdecak karena menjadi bahan godaan lagi bagi Tamara. Kalau status Farah dan Alan memang pacaran, pasti Farah senang kebangetan. Tapi, ini masalahnya Farah dan Alan adalah sahabat. Ingat, sahabat. Sahabat rasa pacaran, maksudnya. Disebut pacaran, bukan. Disebut sahabat, kayak yang pacaran.

“Dia cowok ini. Kenapa gue harus bantuin dia?”

Tamara mencebik. Padahal Farah sudah kebaca banget muka penasarannya. Hanya saja, malah sok-sok munafik nggak peduli. Maunya Tamara menggetok kepala Farah pakai palunya Thor. Tapi, Tamara tahu itu hal yang mustahil. Jadi, alhasil tangan Tamara yang berhasil menjitak kepala Tamara sadis.

“Apaan sih, Mar?” Farah mengaduh sambil mengusap kepalanya yang terasa berdenyut.

“Gue geregetan sama lo, tau nggak?” ujar Tamara gemas. “Lo perhatian dikit kali kek sama Alan. Jadi, Alan itu peka sama elo, Far. Kalo lo cuek kayak sekarang, gimana Alan tau kalo lo suka?” Tamara memelankan suaranya di akhir kalimat. Sadar, kalau kelas mendadak jadi hotel bintang lima. Alias, rata-rata tidur semua dan ada juga yag nonton Korea kayak Tamara barusan, tapi ada juga yang heboh ngomongin aib orang.

“Gue nggak suka,” dalih Farah tak menerima. Lagi-lagi Tamara mencebikkan mulutnya. Farah bisa saja berbohong, tapi wajahnya yang terlihat kaku, malah kebaca banget kalau Farah lagi ketangkep basah.

“Udahlah, Far. Jangan bohong, oke? Kita sebangku kayak sekarang tuh nggak sehari dua hari, tapi setahun. Jadi, gue tau semua borok-boroknya elo. Semua tentang hati lo aja gue tahu, Far.”

Farah memberengut. Tidak bisa berkilah apapun lagi. Tamara saat ini sedang serius, dan Farah sudah kepalang ketahuan untuk tetap berbohong.

“Trus gue harus gimana?” tanya Farah menyerah. Tamara tersenyum kemenangan, kendati ia ingin sekali mencemooh Farah. Tapi, ini bukanlah saat yang tepat. Kalau dicela lagi, nanti Farah malahan kabur.

“Elo beliin minum gih,” ucap Tamara membuat Farah melotot lebar.

“Idih ogah! Duit gue totos buat beli kuota.”

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang