Alan sedang memandang ponselnya yang berlayar gelap. Biasanya kalau dalam keadaan gabut begini, Alan akan membuka buku pelajaran dan mengerjakan soal-soal. Atau kalau lagi mager, paling dia akan spam chat pada Farah hingga cewek itu meneleponnya untuk sekadar menggerutu.
Mengingat hal dulu, Alan kontan mengangkat kedua ujung bibirnya. Ia membuka kunci ponselnya. Dan disambut oleh wajah konyol dirinya bersama Farah. Tidak ada yang berani memainkan ponsel Alan. Kalaupun ada, berarti dia nggak sayang nyawa. Makanya, Alan berani memasang wajah Farah sebagai wallpaper ponselnya.
Tak lama kemudian, kedua ujung bibir Alan datar kembali. Sekelibat ingatan sewaktu sepulang sekolah tadi mengganjal pikirannya. Sebuah godaman telak menyesakkan dadanya. Bahkan, cowok itu harus berkali-kali mengembuskan napasnya. Berharap beban pikiran dapat berkurang walau sedikit. Tapi, ternyata percuma. Tatapan dingin Farah benar-benar sudah menjadi sumber kenelangsaan Alan.
Kenapa ketika dia sadar dan tahu bagaimana penyelesaiannya keadaan malah berbalik? Apa ini yang dirasakan Farah ketika dirinya memutuskan menjauh?
Jika iya, dirinya benar-benar tidak berperikemanusiaan. Alan jadi tahu benar apa yang Farah alami. Dan Alan bersumpah tidak akan mengulangi kebodohan yang sama. Memutuskan sebuah keputusan tanpa memedulikan konsekuensinya.
Ponsel Alan serta-merta bergetar. Di sana ada notifikasi email masuk. Alan ingat. Seusai pengumuman dirinya tidak lolos seleksi, Alan meminta review juri soal makalahnya. Walau Alan baru pertama kali lomba karya tulis, dirinya tahu benar bagaimana karya ilmiah dapat dinilai bagus. Bahkan, Alan beberapa kali memeriksa makalahnya untuk mengurangi kesalahan. Dan ketika ia diberitahu tidak lolos, Alan frustrasi. Sedikit kecurigaan pada Luna timbul. Hingga Alan memutuskan untuk mengontak juri.
Sekarang balasan itu datang. Alan mencengkram ponselnya kuat ketika isi email itu terbaca jelas. Alan tahu, penyebab utamanya adalah Luna.
Alan Dermawan
Pulang sekolah lo ada waktu?
**
Sudah sepuluh menit berlalu sejak datangnya makanan ke atas meja. Tidak ada satu pun yang bersuara. Padahal ada dua orang berbeda gender di sana. Duduk bersandar, berhadapan, tapi ekspresi muka yang tidak sama.
Bima menghela napas. Farah cuma mengaduk-ngaduk mie ramennya tanpa ada niatan untuk melahapnya. Bima tahu, Farah kalau sudah memanggilnya pasti sedang kalut. Ada masalah yang tidak bisa Farah selesaikan pada siapapun.
“Gue pulang atau lo ngomong?”
Farah mendongak dan menatap Bima. Cewek itu melemaskan kedua bahunya dan menyender ke kursi. Ia lesu dan tidak bersemangat untuk bicara. Keinginannya untuk menyelesaikan masalah tiba-tiba saja menguap dalam sekejap. Tapi, Farah mengerti. Bima tidak mungkin menunggunya lebih lama. Farah-lah yang butuh Bima.
“Gue bingung harus cerita darimana, Bim,” ujar Farah beberapa saat kemudian. Bima memajukan badannya. Menatap Farah tanpa menyahut apapun.
“Alan…,” Farah mulai bercerita. Di mulai kedekatannya dengan Alan dan berakhir saling menjauh. Semuanya Farah sampaikan. Termasuk fakta yang Arya sampaikan beberapa hari yang lalu.
Farah terlalu lelah untuk mengendapkan masalahnya di dalam hati. Farah tidak mau sangking banyaknya yang ia pendam, masalah itu akan meluber kemana-mana dan keluar tidak pada tempatnya.
“Gue nggak tahu harus gimana, Bim,” Farah menunduk dalam. Menyembunyikan air matanya yang tanpa dikomando sudah turun deras. Farah sudah tidak kuat lagi untuk menopengi diri. Menahan air matanya di depan orang-orang. Lalu, ia keluarkan ketika malam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dermawan [COMPLETED]
Fiksyen RemajaFarah baper duluan ketika Alan terus saja menyapanya dengan panggilan jodoh. Belum lagi godaan-godaan cowok itu yang kadang bikin teman sekelas berpikir mereka punya hubungan spesial. Padahal, Farah yakin, Alan tidak pernah menyatakan suka padanya...