30

3.5K 196 4
                                    

“Lo mau jujur, kan?” tanya Bima saat Farah memberikan helmnya. Tapi, cewek itu tidak menjawab. Melainkan menunduk lesu sambil melengos pergi. Bima yang telanjur gereget, turun dari motor, mengejar Farah lalu menarik tangan cewek itu.

“Apaan sih, Bim?” Farah mengempaskan cekalan Bima, tapi tidak mau lepas, “Gue cape,” Farah menyerah. Ia sudah mumet. Kepalanya pening hanya sekadar mempertimbangkan ego atau kejujuran. Berat dan sulit diputuskan.

“Lo harus beresin masalah lo,” ucap Bima lugas. Farah bergeming tanpa mau menatap kedua netra tajam Bima. Tangannya masih nyaman dipegang erat oleh Bima. Farah terlalu lelah untuk menjelaskan masalahnya lagi.

“Gue tau,” sahut Farah. “Tapi, bukan sekarang,” lanjutnya pelan.

Bima menghela napasnya panjang. Tidak mengerti jalan pikiran Farah. Padahal hanya sekadar menyampaikan kejujuran apakah itu sulit? Semua masalah dapat diselesaikan dengan benar dan mudah. Hanya saja, ego diri yang memperumit semuanya.

“Trus kapan?” tanya Bima intimidatif. “Sampe lo nyesel dan Alan ninggalin elo?”

“Gue nggak bakalan ninggalin Farah,” kata seseorang dingin membuat Farah dan Bima menoleh. Alan berjalan menuju ke arah keduanya. Farah serta-merta merinding. Ia tidak mampu bergerak. Bahkan, untuk mengedip pun rasanya bergitu berat.

“Elo—“ Ucapan Bima terpotong ketika Alan mengambil alih Farah. Alan tidak menyukai Farah disentuh oleh orang lain. Rasanya kepala Alan terasa terbakar dan hatinya panas.

Alan tidak menggubris keberadaan Bima. Cowok itu menatap Farah tajam. “Lo hutang penjelasan sama gue.”

**

Farah menunduk seperti tersangka pengedar PCC. Alan berdiri di depannya, memasukkan lengan ke saku celana sembari menatap Farah nyalang. Keberanian Farah untuk menghindari Alan luntur sudah. Semenjak Bima memberinya nasehat, Farah jadi sensitif. Pikirannya fokus untuk menyelesaikan masalahnya dengan Alan. Tapi, di sisi lain juga cewek itu kesulitan untuk jujur.

Terdengar suara helaan napas gusar. Alan duduk di samping Farah. Keduanya ada di samping rumah Farah yang memang memiliki kursi panjang untuk bersantai.

Farah makin deg-degan. Kedua tangannya tertaut dan sudah basah karena keringat dingin. Alan melirik Farah sekilas. Semua fakta yang hendak ia sampaikan pada Farah sudah berada di ujung lidah. Tinggal keberanian yang Alan butuhkan agar kata-kata itu keluar.

Alan memejamkan matanya sebentar. Lalu, cowok itu beberapa kali mengembuskan napasnya. Hendak mencari ketenangan dan energi. Walaupun Alan tidak benar-benar siap.

“Kenapa lo ngejauh?” Itulah kalimat pertama yang mampu Alan keluarkan untuk saat ini. Farah seketika menegang dan kedua tangannya terus meremas kuat.

Farah sudah mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. Tapi, Farah takut kalau jawaban dari pertanyaannya itu malah menciptakan lengkungan luka di hatinya semakin banyak.

“Gue… g-gue,” Alan mengesah mendengar Farah gugup.

Alan lantas berpaling pada cewek di sampingnya itu. “Jujur, Far. Please, bilang sama gue. Gimana kita mau nyelesain masalah kalo lo sendiri nggak jujur.”

“Lo sendiri kenapa dulu jauhin gue?” Farah membalas tatapan Alan setelah berdebat dengan perasaan dan akalnya. Wajah Alan mengeras. Bibirnya mendadak kaku. Alan lengah. Padahal harusnya dia sadar lebih dulu kalau dia-lah yang menjauh duluan.

Inginnya Alan jujur. Tapi, seolah ada rantai yang menyeret kata-kata tersebut menjauh dari mulutnya. Dan Alan masih bergeming.

Farah menunggu. Bahkan, dirinya belum mampu untuk membantah apapun. Butuh banyak tenaga untuk mengucapkan kalimat.

Beberapa detik kemudian, Alan memandang tembok di depannya dan melempar punggungnya ke sandaran. Cowok itu mengacak rambutnya frustrasi. Untuk jujur ternyata sulit. Namun, Alan tidak ingin masalahnya dengan Farah berlarut-larut dalam ketidakjelasan.

“Gue kalah taruhan,” Alan memulai ceritanya. Dimulai dari ajakkan Arya hingga dirinya yang mendekati Luna agar cewek itu tidak curiga kalau Alan akan memutuskan Luna akhirnya.

“Kenapa lo jadian sama Luna? Tapi, lo bilang lo nggak pernah suka sama dia.”

Alan terdiam sejenak. Merekam kembali penjelasan Latifah hingga membuat dirinya tertohok. Membuat Alan sadar kalau dia bahagia karena harga dirinya. Bukan sesuatu yang dinamakan cinta.

“Luna cewek yang dikejar-kejar banyak cowok. Dapetin dia kayak yang memenangi kejuaraan. Gue tahu gue jahat. Tapi, harga diri sebagai cowok menganggap itu benar, Far.”

Farah tidak menyahut apapun. Semua yang Farah pikir buntu, sekarang menemukan jawabannya. Di mulai kenapa Alan begitu gugup dan dekat bersama Luna sampai kenapa dirinya dijauhi oleh Alan.

“Trus kenapa sekarang lo mau ngejelasin semuanya? Bukannya lo kalah dari Arya?”

Alan melumasi bibirnya, jantungnya mulai berdebar hebat. Seolah-olah pertanyaan sederhana dari Farah merupakan tuntutan pertanggungjawaban dari malaikat.

“Gue…,” Alan memberi jeda, “Gue takut kehilangan lo, Far. Gue mikir lagi. Gue ikutan taruhan ini biar lo nggak jauh dari gue. Waktu gue kalah dan akhirnya gue harus jauh dari lo, gue nggak mau.”

Ada secercah kelegaan menyelinap. Membawa kebahagiaan tiada tara bagi Farah. Tapi, ada satu kepingan hilang untuk melengkapi bahagia itu. Ada sesuatu yang kurang. Dan Farah ingin memastikannya.

“Emang gue siapa di hidup lo sampe lo bela-belain kayak gitu?”

Alan terdiam. Setelah menarik napasnya dalam, Alan menjawab, “Lo sahabat gue, kan?”

Dalam sekejap, dunia Farah runtuh. Lengkungan bibirnya semakin tertarik ke bawah. Tatapannya kian sendu. Alan menyadarinya, tapi tidak ada kata-kata yang mampu terlontar dari mulutnya.

“Lo jahat, Lan,” bisik Farah seraya air mata mulai bertumpuk di iris cewek tersebut. Fase emosionalnya tiba. Farah tidak bisa memendung seluruh gelegak perasaannya. Farah ingin mengeluarkannya. Farah ingin semua hal yang menyesakkan dadanya hilang.

“Lo kenapa bikin gue berharap? Lo kenapa bikin gue kayak sekarang, Lan?” Farah meracau. Kedua tangannya mengepal kuat di atas paha. Alan kelimpungan. Ia menggaruk kepalanya bingung.

“Far, lo kenapa?”

“PERGI!” sentak Farah keras membuat Alan semakin terpaku.

“Pergi kata gue, Alan!” Pipi Farah sudah basah karena bentuk dari kekecewaan hatinya ketika cewek itu berhasil menatap wajah Alan. Alan masih tidak bisa bergerak. Hatinya terluka ketika melihat kesedihan yang terpancar di wajah Farah. Parahnya lagi, luka itu Alan sendiri yang menciptakannya. Alan yakin itu.

“Far, jangan gini dong. Gue salah apa?”

Farah semakin kesal. Alan nggak peka banget. Nggak mungkin kan Farah langsung mengucapkan fakta sebenarnya?

“Gue mau sendiri dulu,” bisik Farah dengan suara seraknya. Alan mengumpulkan kesadarannya sedikit demi sedikit. Dia beranjak.

Alan tahu, Farah sudah telanjur membencinya. Walau Alan sendiri bingung. Tidak ada kata yang pantas Farah benci selama Alan menyampaikan kejujuran. Bukankah dirinya taruhan demi kebaikan hubungan keduanya? Lalu, kenapa Farah mengusirnya? Ataukah….

Alan berbalik sewaktu suara isakkan pertama milik cewek di belakangnya terdengar.

“Far….”

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang